Monday, July 9, 2018

KUBIARKAN SAJA

Seberapa besar harga diri...?
Tanpa takaran...
Karena harga diri kita tergantung akhlak dan sikap santun dalam kehidupan
Allahlah yang menakarnya...

EPISODE 1
Kubiarkan saja wanita itu mengejekku
Kuabiarkan saja dia dengan teorinya tentang laki-laki baru
Kubiarkan saja dia dengan pongahnya bicara tentang target menikah ulang
Kubiarkan saja.....
Karena rasa, cinta, menikah ulang adalah keputusan pribadi, tentang prinsip
Dan Allahlah yang menentukannya dan memberikan jalan buat membuka luka hati

Masa yang berlalu....aku terlupa aku pernah didebat, diejek, dan dianggap rendah
Lalu angin yang dulu merasakan sakitku karena kalimatnya
Senja yang dulu menyaksikan aku sedih karena kata-katanya
Matahari yang menyaksikan aku tertunduk karena tak ingin membalas debatnya
Aku terlupa....
Sampai suatu saat dari mulutnya dia berkata.."Prinsip ayuk benar...."
Aku terpana dan bingung...
Lalu dia kembali berkata "Aku sudah becerai lagi dengan suami baruku"
Aku tersenyum bukan karena merasa benar dan puas...
Tapi aku kasihan...saja...dia memandang salah tentang target hidup bahwa dengan cepat-cepat cari pengganti , jika sang mantan menikah lagi aku harus menikah lagi juga itu adalah sebuah "KEMENANGAN".
Karena hidup bukanlah sebuah pertarungan "MENANG ATAU KALAH", melainkan menata hidup dalam rahmat dan ridho Allah, lantas memasrahkan tentang apa yang akan terjadi besok padaNYA.

EPISODE 2
Kubiarkan saja wanita ini dengan angkuhnya
Kubiarkan wanita ini dengan sombongnya
Hanya karena dia diatasku lantas lupa, bahwa dulu aku adalah teman...
Kubiarkan saja dia melupakan aku , menjaga jarak denganku dengan kejaimannya yang "TERLALU"
Kubiarkan saja bentakannya
Kubiarkan saja kata-kata nyelekitnya
Angin, Senja, Matahri, Langit pasti tahu tentang sakitku...
Terlebih Allah pasti lebih tahu...
Pada awalnya aku menahan sakit, bersabar..
Tapi ketika semakin angkuhnya....saksikanlah langit, matahari, senja tanganku telah terangkat tengadah...memohon pertolongan Allah.
Lalu aku akan menanti apa yang akan terjadi kelak padamu wanita angkuh...


Palembang, 10 Juli 2018



Friday, February 2, 2018

KETIKA WAKTU BERANJAK SENJA


Pagi ini sehabis subuh, kulihat angin kencang membanting ranting dan dahan pohon tak beraturan. Terombang -ambing tak tentu arah. Kilau cahaya berkelebat silih berganti dengan gema petir dan guntur. Lantas langit menangis menumpahkan curahan air yang sangat lebat ke bumi. Aku termangu di sisi kamarku. Asyik masyuk memandang taman di sebidang tanah sekitar 3x2 meter. Kulihat bunga lipstick bidadari itu terangguk angguk manja, Ada pancaran bahagia di ronanya yang memerah.

Ini hari Sabtu pagi, dimana hari libur kantor. Hujan di kepagian selalu membawa suasana syahdu dan malas beringsut. Entahlah tiba-tiba aku mengingat mama alm. Aku mengenang sejarah masa lalu yang manis. Hujan selalu menyenangkan bagiku. Udara sejuknya, nyanyian air yang gemeretak jatuh ke bumi semuanya indahhhh. Tapi ada yang paling berkesan bagiku di masa kecil Setiap hujan aku, mama dan kedua adik laki-lakiku Piyan dan Arrie pasti tidur berpelukan di ranjang besar kamar mama. Menjadi satu dalam satu selimut, lalu mama pasti mendongeng macam-macam. Bisa jadi itu batu belah batu bertangkup, pak Pandir, si Kancil. Meski ceritanya itu lagi, itu lagi tapi kami tak pernah bosan menyimak.

Bahkan ketika sudah berpelukan dalam satu selimut lebih banyak kamilah yang memaksa mama bercerita. Ayo mak “Ande-Ande dong “ (ande-ande = dongeng)”. Kamilah yang lebih sering memaksa topik ceritanya. “Pak Pandir dong mak...” atau “Batu belah batu bertangkup dong mak”. Ya Rabb...aku tak paham tentang rasa, aku aneh karena merasa akhir-akhir ini lebih sering “melankolis” jadi lebih sering mewek. Ingat Mama, ingat papa, dan juga ingat anak-anakku yang sudah tiada. 

Mungkinkah ini sebuah pernyataan rinduku pada mereka yang telah tiada. Iyahhh... menjelang berangkat umroh aku kok jadi “melow melulu” Ada saja yang membuat aku melow dan ingat masa kecil, ingat mama. Bayangkanlah tadi ketika memakai body lotion di kaki, ketika aku melihat jempol kakiku kukunya membusuk aku malah jadi inget mama. Dari kecil akulah yang paling dekat dengan mama. Aku ingat aku sangat cerewet bertanya ini itu. Saat kami bercanda sambil bergulingan aku paling senang meminta mama menekuk kaki, sehingga aku akan melihat dengkulnya kelimis mengkilap. Aku akan memaksa mama melakukan posisi itu lama dan berualang-ulang, suka sekali menatapnya klimis. Nanti mama berkomentar bercanda mengandaikan dengkulnya itu kepala orang botak dipakaikan “pomade”. Dengan gaya mama yang lucu membuat aku berderai-derai tertawa tepingkal.

Lalu aku sering melihat jempol kaki mama yang kukunya tinggal sedikit. Dengan cerewet aku akan bertanya “Kenapa sih mak, kok kukunya sampai habis begitu??”. Nanti mama akan jelaskan bahwa kukunya itu dimakan ulat “sembayan” karena dari pagi sampai malam basah melulu. Iyalah seorang ibu yang nyuci, masak, cuci pring, mandiin anak, nyebokin anak tak lepas dari air. Kaki lembab akan menimbulkan jamur kuku.

Lalu aku dan mama akan memetik daun pacar di samping rumah. Memotongnya, membersihkannya dari sirip daun. Mama dengan telaten menumbuk daun pacar dengan cobek dibumbui gambir, nasi dan air asam sedikit. Mama akan menempelkan pacar tumbuk itu ke jari-jariku terlebih dahulu, baru ke jari-jari kaki beliau yang kukunya membusuk. Nanti saat sudah beberapa jam pacar yang sudah mengering dilepaskan dari kuku menghasilkan warna merah yang cantik sekali. Aku girang dan sangat senang. 

Sekarang mama sudah tiada, namun kenangannya tak pernah pudar. Sekarang aku paham pengorbanan seorang wanita, seorang ibu. Inget lututnya yang kelimis yang saat dilepaskan tekukan kaki akan terlihat jelas kulitnya akan berkerut. Lalu kuku membusuk, lalu tulang-tulang yang terasa berat dan penat, adalah pertanda usia semakin lanjut dan berkurang. Sekarang kondisi fisik mama yang paling usil aku tanyakan dulu telah terjadi padaku. Kuku busuk, badan berat (alias gerit) dan sebagainya.

Hidup adalah sebuah perjalanan waktu. Ketika lahir kita sendiri...lalu besar, dewasa dan menikah, punya anak lalu riuh rendah dan ramailah kehidupan ini. Ketika anak-anak beranjak dewasa mereka berpisah dari kita, entah itu karena sekolah di luar kota, atau kemudian menikah, dan fase hidup kembali menurun, kita kembali dalam kesendirian. Orang-orang terkasih telah berpisah dan meninggalkan kita entah itu karena memang harus mengambil jarak untuk sebuah kepentingan tertentu, atau memang karena telah kembali pada Allah...!

Mama, Papa telah kembali dalam pelukan ilahi. Meski rindu.. kangen dan segalanya rasa yang sulit dibahasakan pada mereka, mereka cuma bisa aku kenang tentang manisnya, kebaikannya, cinta sucinya. Aku menangis dalam rindu.... Haripun menjelang senja tiada yang tahu di saat kapan aku juga akan kembali. Aku cuma menunggu waktu.... Aku mendongakkan kepala mengusap pipi basahku dengan tisue, beranjak lunglai menuju jendela kamar menatap satu persatu titik hujan yang masih menerpa daun-daun bunga lipstick bidadari. Daun-daunnya tertunduk manja meski lelah namun tampaknya bahagia dengan titisan air hujan karena membuatnya segar dan merona. Ya...Allah perjalanan hidup sungguh sebuah episode yang menakjubkan untuk dipahami dan diikhlasi.... hatiku berdesis lirih. 

Hari telah senja..... Abdullah bin Umar radhiyallahu berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).

Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465))


وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى
Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa