Suasana
masih remang-remang dan gemericik rinai hujan satu persatu luruh
kebumi, ketika aku medorong pintu garasi untuk mengeluarkan Honda
Jazzku menuju rumah orang tuaku yang jaraknya tak begitu jauh dari
rumah aku tinggal. Waktu subuh belum lama berlalu. Hari ini
keberangkatanku untuk melaksanakan umroh. Niat umroh yang sudah cukup
lama bersemayam dalam dadaku namun baru tahun ini bisa terlaksana.
Meskipun keberangkatanku pagi ini masih belum begitu pasti karena
sampai pukul 4.00 WIB tadi visa atas namaku belum juga keluar. Tapi
pembimbing umroh menjanjikan paling lambat jam 10.00 WIB pasti
keluar.
Jalanan
masih sepi, hanya satu dua mobil dan motor yang lalu lalang
mengangkut sayur dari arah Pasar Lemabang yang akan dijajakan
keliling kompleks perumahan oleh tukang sayur keliling. Aku nyetir
dengan kecepatan yang cukup tinggi, “mumpung jalanan sepi”
pikirku. Sesampai dirumah orang tuaku kulihat Mama, Papa, adikku Atik
serta keponakanku Ade sudah berdiri didepan pintu pagar. Rencananya
mereka akan ikut mengantar ke bandara tuk melepas keberangkatanku.
Tanpa basa-basi aku menyerahkan kunci Jazz ke Ade agar dia yang
nyetir. Sepanjang perjalanan tak putus-putusnya nasehat mama dan papa
tentang adab dan hal-hal penting yang harus aku lakukan dan jaga
selama di tanah suci. Aku cuma diam mengangguk dan mengiyakan.
Waktu
menunjukkan jam 6.00 WIB ketika kami masuk ke pelataran
bandara Sultan Mahmud Badaruddin 2, Ade menghentikan kendaraan di
drop off area kami turun dan selanjutnya dia mencari parkir. Kulihat
suasana bandara cukup padat dengan calon penumpang yang sebagian
besar adalah jamaah umroh, ini terlihat dari seragam khas yang mereka
pakai. Dari kerumunan orang-orang aku melihat sekelompok orang yang
berseragam putih dengan label nama At-Taubah dibagian belakang
kepala, aku tersenyum mereka rombonganku. Mataku
berkeliling mencari kawan seperjalananku Uni Laila dan ayuk Tasya.
Tiba-tiba kulihat wanita memakai gamis warna pink melambaikan tangan
kearahku. Uni Laila pikirku, aku membalas lambaian tangannya. Mereka
mendekat lalu menyalami mama, papa dan Atik.
Teriakan
bu Ratih selaku pembimbing menyuruh agar
seluruh jamaah At-Taubah segera masuk membuat obrolan basa-basi kami
terhenti. Papa dan Mama menyuruhku segera
masuk. Aku berpamitan menyalami tangan dan menciumi mereka. Sudah
menjadi tradisi perpisahan untuk berangkat ke tanah suci selalu
menimbulkan keharuan tersendiri.
Gerutuan
calon penumpang menggema seperti koor di ruang
tunggu keberangkatan. Dari pengeras suara terdengar pengumuman bahwa
karena alasan teknis pesawat kami delay selama 2 jam 15 menit.
Akhirnya tepat 8.40 WIB dengan GA.113 kami
menuju Jakarta. Penerbangan selama 45 menit cukup singkat bahkan
hampir tidak terasa sama sekali. Begitu tiba di pintu kedatangan
bandara Soekarno Hatta kami diminta berkumpul di terminal
international IIE dan langsung ke hall Jakarta Airport Transit hotel
untuk makan siang serta pembagian passport dan dokumen imigrasi.
Dimeja
panitia aku dan rombongan dari Palembang antri untuk mengambil
name-tag
serta dokumen imigrasi. Ketika namaku kusebut untuk meminta name tag
barulah aku menyadari bahwa ada ketidakterbukaan bu Ratih. Ternyata
hingga saat itu jam 11.00 WIB visa atas namaku belum juga keluar. Aku
terhenyak menahan kecewa yang amat dalam karena sampai aku mengetahui
hal tersebut bu Ratih selaku koordinator At-Taubah travel cabang
Palembang tidak juga mengajak aku berbicara empat mata untuk
menjelaskan status dan penyebab visaku belum keluar, serta solusi apa
yang ditawarkan At-Taubah travel andaikata visaku tidak keluar.
Aku diam menanti panitia At-Taubah travel untuk memanggil aku, namun
semua tidak terjadi. Lalu aku mengambil inisiatif untuk menanyakan
hal tersebut kepada panitia dan perwakilan At-Taubah travel yang ada
ditempat itu, mbak Fika dan Ustadz Unang. Tidak juga kutemukan
jawaban yang memuaskan.
Aku terdiam sendiri di lobby Airport Transit hotel ketika rombongan
umroh meninggalkan aku untuk check in keberangkatan ke Jeddah.
Sampai detik itupun bu Ratih tidak berbicara apapun dengan aku bahkan
pergi begitu saja. Kulihat ada empat orang panitia At-Taubah travel
yang menemani aku, mbak Fika, mbak Lusi dan dua orang laki-laki yang
aku tak tahu nama mereka. Seketika aku merasa amat penat dan lelah
demi memendam kekecewaan terhadap pelayanan At-Taubah travel. Aku
masih mematung, menarik nafas panjang kemudian mencoba bernegoisasi
dengan mbak Fika agar dia segera memesan kamar. Aku ingin istirahat
dan menenangkan diri. Mbak Fika dan Lusi berdiri menuju ke
resepsionis hotel untuk memesan kamar.
Tak
lebih dari lima belas menit berselang mbak
Fika menyerahkan kunci kamar No.404. Mereka berdua mengantarkan aku
kekamar. Semula mereka berniat menemani aku dikamar namun aku
menolak. Setelah saling bertukar nomor ponsel mereka pergi dengan
janji akan memberikan konfirmasi secepatnya mengenai visaku.
Baru
saja aku merebahkan tubuh, aku menerima
telpon dari Rahim teman sekantorku yang cukup berpengalaman tentang
perjalanan haji dan umroh karena dia adalah pembimbing haji dan umroh
disalah satu travel. Dia menasehati agar aku tegas dan meminta
ketegasan tentang keberangkatanku pada pihak travel jika aku tidak
ingin terkatung-katung. Sebelum mengakhiri pembicaraan melalui ponsel
Rahim mengulang-ulang terus nasehat itu. Aku berterima kasih atas
nasihatnya.
Aku
segera mencari nomor telpon At-Taubah
travel pusat. Setelah adu argumentasi dan dengan sedikit mengancam
akhirnya aku dapat berbicara dengan pemilik travel tersebut. Pak Hadi
memberikan solusi dan jaminan yang cukup menenangkan apabila
kemungkinan terburuk terjadi. Aku agak tenang dan menjelang jam 21.00
WIB tertidur karena kelelahan.
Dering ponsel mengagetkan aku, kubaca pada display tertera nama pak
Hadi, aku menekan answer, jam di ponselku menunjukkan pukul 23.00
WIB. Pak Hadi menginformasikan bahwa visa atas namaku sudah keluar.
Aku akan berangkat besok dengan penerbangan jam 15.20 WIB. Aku akan
dititipkan dengan rombongan umroh plus tour ke Dubai. Berkali-kali
aku mengucapkan alhamdulillah karena akhirnya niat umrohku tahun ini
akan terwujud.
Jam
12.30WIB mbak Lusi menjemputku ke kamar untuk persiapan
keberangkatan. Setelah mengurus seluruh administrasi hotel, mbak Lusi
mengajakku ke eksekutif lounge. Di ruang tunggu tersebut aku
dipertemukan dengan rombongan tempat aku dititipkan. Aku seperti
tidak percaya dengan penglihatanku karena ternyata yang dimaksud
rombongan itu adalah satu keluarga besar yang hanya terdiri dari lima
orang. Keluarga dengan dua orang anak perempuan serta ibu dari
istrinya. Keluarga pak Priyono dari Yogyakarta. Dari gaya dan cara
mereka juga perlakuan orang-orang yang ada di bandara baik petugas
bandara maupun panitia dari At-Taubah travel terhadap mereka, aku
menarik kesimpulan bahwa mereka adalah orang yang cukup terkenal dan
kalangan atas namun aku tak perduli siapa mereka. Yang paling penting
bagiku adalah aku merasa nyaman bersama mereka karena mereka cukup
baik dan bersahabat.
Seketika
aku segera menyadari hikmah yang telah disusun oleh Allah dengan
penundaan keberangkatanku. Bersama keluarga ini aku mendapatkan
pelayanan terbaik dan eksekutif. Aku tersenyum. Enak juga ya
merasakan dihormati dan dilayani sebagai tamu terhormat.
Baru
beberapa jam aku berada ditengah mereka, aku segera menyadari ada
misi yang dititipkan oleh Allah padaku. Keluarga ini tidak begitu
care
terhadap ibu ataupun nenek mereka. Aku terhenyak melihat mereka sibuk
dengan kepentingan mereka sendiri sedangkan nenek begitu aku
memanggilnya sama sekali tidak diacuhkan. Nenek harus mengurus
kepentingan dan keperluannya sendiri. Bahkan aku setengah terperangah
melihat Nunu sempat menjawab dengan kasar pertanyaan nenek mengenai
tas kopernya yang masuk bagasi.
Wanita tua yang kuperkirakan berusia lebih dari 75 tahun untuk
berjalanpun harus menyeret kakinya. Tas tangan yang tergantung
dipundaknya besar dan cukup berat. Bersamaku sepertinya beliau merasa
nyaman. Tangannya yang selalu mengenggam erat lenganku untuk penopang
berjalan sepertinya gak mau lepas. Akupun senang bersamanya. Ah
indahnya rencana Allah……
Saat
aku tak paham maksud Rabb-ku, aku memilih untuk tetap PERCAYA
Saat aku tertekan oleh kekecewaan, aku memilih untuk tetap
BERSYUKUR
Saat beberapa rencana hidupku gagal, aku memilih untuk tetap
BERSERAH DIRI
Saat
putus asa melingkupi diriku, aku memilih untuk tetap MELANGKAH
Apapun yang terjadi pada diriku saat ini, aku akan tetap PERCAYA,
BERSYUKUR, BERSERAH DIRI dan MELANGKAH. Karena Allah sedang merajut
kehidupan yang terbaik untukku.
********************
Sepanjang
perjalanan Jeddah-Madinah aku berulangkali
meminta kepastian pada Ustad Zamzami apakah aku masih punya
kesempatan untuk sholat subuh di masjid Nabawi. Beliau menjamin masih
bisa. Azan Subuh menggema ketika kendaraan kami sampai di depan Hotel
Anwar Movenpick. Ustad Zamzami meminta aku pindah duduk ke depan dan
menunggu didalam mobil. Beliau turun untuk mengurus check in hotel
keluarga Priyono.
Nenek
memeluk dan menciumi aku lalu berucap terima kasih karena selama
perjalanan nenek merasa banyak terbantu olehku. Aku tersenyum. Bagiku
itu hal yang lumrah dan memang harus aku lakukan kepada orang tua
siapapun dia adanya. Nunu dan Ilma juga mencium dan memeluk aku. Bu
Priyono meminta nomor ponselku, kami saling
bertukar nomor ponsel. Setelah berbasa-basi kamipun berpisah di
pelataran hotel.
Dengan gelisah aku menunggu didalam mobil sambil memperhatikan jamaah
yang cukup padat lalu lalang setengah berlari menuju masjid Nabawi.
Aku khawatir tidak keburu untuk sholat subuh di masjid Nabawi. Aku
telah banyak kehilangan kesempatan untuk beribadah disini karena
keberangkatanku yang tertunda. Namun tak lama kulihat ustad Zamzami
setengah berlari keluar dari lobby hotel masuk ke mobil.
“Masih
keburu ya ustad untuk sholat Subuh?” tanyaku khawatir
“Insya
Allah masih ibu, hotel kita gak jauh kok dari sini. Lagipula
kebiasaan di Nabawi setelah kumandang adzan ada tenggang waktu 30
sampai 45 menit untuk memulai sholat” jawabnya menenangkan aku.
Benar
juga tidak sampai 5 menit kami telah sampai
di lobby Hotel Al-Saha. Aku mencoba menelpon uni Laila menanyakan
nomor kamar dan kunci kamar.Uni Laila menginformasikan nomor kamar
kami 1216 lantai 12. Kunci kamar dititip di resepsionis, dia sudah di
masjid Nabawi. Rupanya ustad Zamzami sudah tahu letak dan nomor kamar
bahkan beliau sudah menggengam kunci kamar kami.
Karena
lift umum cukup padat dengan antrian jamaah
yang turun untuk ke Nabawi, beliau mengajak aku menggunakan fasilitas
lift khusus untuk petugas travel dan hotel. Sampai dimuka kamar 1216
beliau menyerahkan kunci dan memberikan sedikit penjelasan denah
menuju ke mesjid Nabawi. Aku segera masuk dan membuka koper. Tanpa
mandi dulu kuambil perlengkapan pakaian dalam lalu segera
menggantinya dan berwudhu. Tergesa-gesa aku berlarian ke lift,
alhamdulillah lift sudah sepi karena tidak ada lagi jamaah yang
mengantri. Setengah berlari aku menuju mesjid Nabawi, tak memakan
waktu lama untuk sampai ke Nabawi karena letak mesjid persis
dibelakang hotel kami.
Kulihat
jamaah telah begitu padat memenuhi
pelataran mesjid. ”Ternyata suasana umroh sama saja dengan suasana
haji” pikirku. Aku memilih tempat di pembatas pagar pintu 11A,
karena hanya disitu tempat kosong yang masih agak kedepan. Baru saja
selesai membentang sajadah, terdengar suara iqamad. Alhamdulillah
aku masih bisa ikut berjamaah di masjid Nabawi dihari pertamaku di
Madinah.
********************
Usai
sholat Subuh aku segera mandi, perjalanan yang cukup jauh tidak
membuat aku lelah karena semangat untuk
beribadah di tanah haram ini sangat kuat dalam hatiku. Sesuai jadwal
yang telah ditentukan hari ini adalah perjalanan tour ke Masjid Kuba,
Masjid Kiblatain, Jabal Uhud dan Perkebunan kurma. Jamaah At-Taubah
diminta sudah berkumpul di lobby hotel jam 8.00 WSA. Perjalanan tour
yang biasa dan standar apabila kita berkunjung ke Madinah. Sholat 2
rakaat di masjid Kuba yang nilainya sama dengan satu kali umroh
membuat masjid Kuba padat dipenuhi jamaah yang ingin melakukan
sholat.
Dari
masjid Kuba perjalanan dilanjutkan ke Jabal
Uhud. Jabal Uhud adalah tempat terjadinya perang Uhud antara kafir
Quraisy dengan umat muslim. Disana juga terdapat makam-makam para
ulama Islam diantaranya paman nabi Muhammad SAW yaitu Syaidina
Hamzah. Terakhir perjalanan tour adalah ke perkebunan kurma. Seluruh
jamaah penuh semangat berbelanja untuk oleh-oleh.
********************
Hingga
selesai sholat Isya, bu Ratih belum juga
menemui aku untuk memperbincangkan rencana mengantarku ke Ar-Raudah.
Ar-Raudah adalah mimbar tempat nabi Muhammad SAW berkhutbah yang
merupakan tempat doa-doa akan diijabah Saat menjelang keberangkatan
menuju Jeddah pak Hadi telah menjanjikan para muthawif At-Taubah
travel di Arab Saudi akan mengantar aku ke Ar-Raudah. Rombongan telah
melakukan kunjungan ke Ar-Raudah kemarin pagi.
Di
ruang makan mataku nanar menatap
sekeliling, dan tidak kutemukan bu Ratih padahal ini adalah malam
terakhir rombongan kami di Madinah. Aku melihat di meja pojok ada
muthawif At-Taubah travel yang kukenali dari atribut dan seragam yang
dikenakannya. Aku melangkah ke arah beliau dan duduk berhadapan
dengannya. Aku tidak kenal siapa nama beliau. Perlahan aku
mengutarakan keinginanku untuk berkunjung ke Ar-Raudah. Belum selesai
aku berbicara panjang lebar beliau sudah memotong omonganku.
“Memang
ibu kemarin kemana pada saat rombongan melakukan kunjungan? Kalau mau
sendiri ini ya agak sulitlah, karena kita gak bisa menyediakan tenaga
khusus. Apalagi ibu wanita jadi kita harus booking ustadzah khusus,
ini sudah malam lagi. Kalau ibu laki-laki ya gak masalah saya bisa
mengantar” tukasnya agak sinis.
Aku
terperangah mendengar ucapannya, tapi aku
masih tetap tenang dan bersabar. Ini cuma salah pengertian pikirku.
Kutarik nafas panjang lalu pelan-pelan berbicara.
“Ustadz,
saya Bu Zaskia yang baru tiba di Madinah jam 4.15 tadi pagi. Saya
menyusul ke sini sendirian karena visa saya terlambat keluar. Saya
menagih ingin diantar ke Ar-Raudah karena ketika di bandara menjelang
keberangkatan saya kesini, pak Hadi telah berjanji bahwa beliau akan
menugaskan muthawif di Arab Saudi untuk mengantar saya ke Ar Raudah
sebagai kompensasi keterlambatan visa saya. Saya telah cukup banyak
bertoleransi terhadap At-Taubah travel. Saya sudah rugi waktu satu
hari untuk beribadah di Madinah ini lo” jawabku menatapnya
dalam-dalam dengan suara tegas dan lembut. Kulihat beliau agak
terperangah.
“Oh…
begitu ya? Maaf ibu saya gak tahu kalau ada satu jamaah yang
tertinggal. Baiklah saya coba menghubungi bu Ratih dulu” jawabnya
Aku
tersenyum dan menunggu dengan sabar ketika dia mencoba menelpon bu
Ratih. Aku sudah mendengar percakapan
mereka, dan sepertinya bu Ratih tak bisa mengantar.
“Wah
bu… gimana yah? Bu Ratih gak bisa mengantar karena kondisinya malam
ini sedang drop. Tapi beliau berjanji akan mengantar esok pagi”
Aku
tersenyum kecewa terhadap sikap bu Ratih
yang memang dari awal tidak bertanggung jawab sama sekali. Besok pagi
di hari Jum’at? Aku sudah pernah melakukan perjalanan haji dan
mengerti bahwa hari Jum’at bagi penduduk Arab Saudi adalah hari
besar, jadi kunjungan ke Ar-Raudah sangat sempit. Apalagi besok
selesai sholat Jum’at kami akan meninggalkan kota Madinah menuju
Bir Ali untuk mengambil miqat umroh. Kemungkinan
untuk terealisasi sedikit sekali dan malam inilah kesempatan terakhir
untuk bisa ke Ar-Raudah. Aku kembali menghela nafas panjang, sudah
mulai sedikit emosi. Tapi aku terus berusaha menenangkan diri.
“Artinya
janji-janji pak Hadi cuma omong kosong belaka ya ustadz? Besok hari
Jum’at saya tahu waktu kunjungan kesana sangat sempit, dan kecil
sekali kemungkinan untuk bisa terwujud. Begini saja ustadz, saya
minta ustadz jelaskan saja teknis pelaksanaannya nanti biar saya
pergi kesana sendiri. Atau sekarang juga saya akan telpon pak Hadi.
Sepertinya At-Taubah travel cuma bisa janji-janji doang ya. Saya
sudah banyak kehilangan kesempatan dengan ketidak terbukaan dan
ketidaktegasan pihak At-Taubah travel” tantangku dengan suara
lembut dan agak sedikit sinis.
Ustadz
tersebut diam, mencoba berpikir mendengar tantanganku. Aku sendiri
tidak main-main dengan tantanganku karena tahun 2006 aku sudah pernah
pergi haji jadi sedikit banyak sudah mengerti. Aku hanya tak ingin
lancang, dan belum paham apakah peraturan ke Ar-Raudah masih seperti
tahun 2006 dulu.
“Tunggu
sebentar ibu, coba saya hubungi ustadz Ryan dulu. Nanti beliau yang
akan mencarikan ustadzah yang bisa mengantar ibu, kami juga merasa
gak enak karena ini sudah janji pak Hadi” ujarnya agak merendah.
Aku diam dengan muka tanpa ekspresi, aku sangat kecewa dengan
perlakuan ini. Aku menyadari biarpun travel penyelenggara haji dan
umroh rupanya masih juga tidak sepenuhnya amanah terhadap kepentingan
jamaahnya. Kulihat dia berbicara serius melalui ponselnya..
“Ibu,
informasi dari ustad Ryan ada ustadzah yang bisa mengantar namanya
ustadzah Anna tapi ibu bergabung dengan rombongan jamaah dari travel
lain apa ibu mau? “ jawabnya menawarkan.
“Oh…
gak masalah ustadz, mau bergabung dengan jamaah manapun saya mau asal
saya bisa ke Ar-Raudah. Alhamdulillahi rabbal alamiin” jawabku
girang.
“Oke
kalau ibu mau, ustadz Ryan sudah menunggu di lobby sekarang”
“Terima
kasih ustadz” aku bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu, sementara
uni Laila dan ayuk Tasya naik dulu ke kamar untuk mengambil
perlengkapan sholat karena tadi sehabis sholat Isya mereka sempat
naik ke kamar sedang aku langsung ke ruang makan untuk menagih janji
ke Ar-Raudah.
Di
lobby mataku berkeliling mencari orang yang
disebut ustadz Ryan, aku tidak kenal beliau. Tiba-tiba ada seseorang
lelaki yang berpostur tinggi atletis dengan rambut keriting gondrong
hampir sebahu mengenakan peci putih memakai jaket seragam At-Taubah
travel berjalan menuju ke arahku. Ini pasti ustadz Ryan pikirku.
“Bu
Zaskia? “ sapanya mengangguk
“Iya.
Ustadz Ryan?” balasku. Kulihat beliau mengangguk. Aku tersenyum
“Kita
tunggu sebentar ya ibu, karena rombongan yang mau ke Ar-Raudah masih
siap-siap” jelasnya. Aku mengangguk
mengiyakan.
”Jadi
bu Zaskia ke sini sendirian saja? Tidak
bersama suami atau anak-anak bu?” tanyanya
“Sendiri
ustadz, suami saya sudah meninggal” jawabku sekenanya. Aku tidak
pernah mau menjawab pertanyaan tentang statusku yang telah bercerai
karena takut akan ada pertanyaan berikutnya setelah itu. Terlalu
rumit menjelaskan sesuatu yang sangat menyakitkan
“Innalillahi,
maaf bu pertanyaan saya” ucapnya penuh penyesalan. Aku
tersenyum.
“Jadi
kemarin perjalanan dari Jakarta-Jeddah ibu sendiri? tanyanya lagi.
“Tidak,
saya dititipkan pada keluarga pak Priyono yang umroh plus tour ke
Dubai”
“Oh..
ya saya tahu keluarga itu. Wah… hebat juga ya ibu berani sendirian”
ucapnya memuji sekenanya. Aku tersenyum hambar.
“
Bukan sendirian, tapi berenam.....” aku bercanda
Ustadz Ryan tertawa. Aku kembali menoleh ke arah pintu lift untuk
menghilangkan kecanggunganku, karena aku memang tidak terbiasa
berbicara dengan seorang laki-laki hanya berduaan. Uni Laila dan yuk
Tasya belum juga muncul.
“Oh
ya..... ustadz, boleh saya minta tolong” tanyaku lagi
“Tentang
apa ya?”
“Tadi
pagi ketika ambil foto di Jabal Uhud camera saya out memory”
“Oh..
itu camera ibu?” , ternyata dia masih
ingat karena dia yang mengambil foto di Jabal Uhud dan berteriak
bahwa camera tersebut out memory.
“Ya
gampang aja bu, tinggal di delete aja foto-foto yang gak perlu”
sarannya
“Nah
itu masalahnya, foto-foto yang ada cuma yang di Jabal Uhud itu. Baru
sekitar 10 foto, tapi anehnya kok sudah out memory ya? Apakah memory
card terkena virus?”
“Boleh
ibu, nanti saya lihat cameranya. Saya coba cari apa masalahnya”
“Terima
kasih ustadz, andai memang memory card yang bermasalah saya minta
tolong dibelikan memory card yang baru berapapun harganya, karena
kalau saya mencari sendiri ke toko agak kesulitan komunikasi. Orang
Arab gak bisa bahasa Inggris”
“
Baik ibu, nanti saya usahakan”
Dering ponsel menghentikan pembicaraan kami,
kudengar dia berbicara dengan seseorang.
“Oke
ibu, ustadzah Anna sudah menunggu di depan hotel Al-Haram diseberang
jalan. Mereka sudah siap berangkat”
“Tunggu
ustadz ada dua orang teman saya yang mau ikut” pintaku
“Oh
ada yang mau ikut lagi…?”
“Iya
ustadz. Tunggu sebentaaaar...... mereka lagi ambil peralatan sholat”
Dengan
gelisah aku menanti uni Laila dan yuk Tasya
karena takut tertinggal. Kudengar dering ponsel ustadz Ryan berbunyi
lagi, beliau menjawab tunggu sebentar.
“Mana
temannya bu, kok lama? Sudah mau berangkat rombongan” ucapnya
Baru saja selesai ustadz Ryan berucap, kulihat uni Laila dan yuk
Tasya keluar dari lift.
“Nah
itu mereka” jawabku girang.
Beriringan kami berjalan menyebrangi jalan, dari kejauhan terlihat
rombongan yang terdiri dari 10 orang jamaah dari Jakarta sudah
menanti di depan hotel Al-Haram dengan tak sabar. Ustadz Ryan
menyerahkan kami dengan ustadzah Anna. Ustadzah Anna berasal dari
Makasar. Beliau sudah 15 tahun menetap di Madinah demikian juga
suaminya, bahkan anak-anaknyapun lahir disana. Malam itu sekitar jam
1.00 WSA dinihari akhirnya aku mendapat kesempatan sholat 2 rakaat di
Ar-Raudah dibarisan paling depan pojok kanan permadani abu-abu konon
katanya tempat yang paling dekat dengan mimbar Nabi Muhammad SAW.
Segala curahan hati dan berjuta permohonan aku panjatkan. Jam
2.30.WSA malam aku baru tiba di hotel dan tertidur lelap karena
senang.
***********
Jam
dua siang bis yang kami tumpangi mulai
bergerak menuju Bir Ali. Aku berbinar-binar bahagia karena sebentar
lagi akan melakukan umrah, namun aku mulai menangkap gelagat aneh
terhadap sikap ustadz Ryan. Kenapa sekarang dia menjadi sok ramah dan
begitu perhatian terhadapku? Sejak dari hotel aku mulai
bertanya-tanya tentang hadiah flashdisk dengan gantungan kupu-kupu
yang diberikannya bersamaan pengembalian cameraku. Semua tanda tanya
itu kusimpan dihati.
Sepanjang perjalanan sebagai guide beliau
berceloteh tentang sejarah haji dan Islam ataupun menjelaskan lokasi
yang kami lewati. Berulang kali beliau menjelaskan statusnya yang
masih bujangan di usianya yang sudah 27 tahun. Beliau menginginkan
segera menikah. Belum lagi yang sangat mengganggu konsentrasiku
beliau selalu bercerita tentang janda-janda hebat di zaman nabi dulu,
aku merasa cerita itu tertuju padaku. Bahkan ketika beliau
menceritakan tentang nabi Muhammad yang pada usia 25 tahun menikahi
Siti Khadijah yang sudah berusia 40 tahun. Kalau memang bisa seperti
itu beliau akan dengan senang hati menerima. Aku merasa tersindir
namun segera kutepis perasaan aneh tersebut.
Setelah
sholat sunat ihram dan mengambil miqat di Bir Ali bis kembali melaju
menuju kota Makkah Al Mukaromah. Hatiku bergetar mendengar alunan
suara ustadz Ryan yang begitu lembut memimpin para jamaah melafazkan
niat umroh, doa-doa dan talbiyah. Lantunan itu begitu merdu dan
syahdu. Perjalanan itu seolah menyihir hatiku menjadi melankolis
terlebih suara talbiyah yang menggema terus menerus. Ketika sebagian
jamaah tertidur karena kelelahan ustadz Ryan menggantikan ucapan
talbiyah dengan lantunan suaranya menyanyikan lagu Raihan ”Haji
menuju Allah”. Labbaik Allahumma
Labbaik... Labbaik Kala Syarika Labbaik ..............
Dalam hatiku berbisik dapat point delapan deh .....untuk suaranya.
Jam
11.30 tengah malam waktu Arab Saudi
rombongan berkumpul di Lobby hotel Al-Khalil Jeweler untuk melakukan
umroh. Begitu anggota rombongan lengkap, kami berjalan kaki menuju
Masjidil Haram yang letaknya kurang lebih 300 meter. Tepat di depan
pintu I King Abdul Aziz rombongan berhenti untuk mendengarkan
penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan umroh yang disampaikan oleh
ustadz Ryan.
Usai
melakukan sholat Isya dan Maghrib yang
dijamak, rombongan bergerak mendekati Ka’bah. Walaupun ini kali
kedua, perasaan memandang Ka’bah tetap sama . Takjub dan selalu
menimbulkan keharuan untuk selalu ingin kembali dan kembali lagi.
Sambil membaca do’a melihat Ka’bah tanpa terasa air mataku
meleleh, entahlah sejuta rasa bercampur aduk tak dapat kujabarkan
satu persatu.
Ustadz
Ryan berdiri paling depan berjalan pelan
menerobos rombongan jamaah lain mencari pilar dengan lampu hijau yang
sejajar hajar Aswad dimana tawaf akan dimulai. Ustadz Ryan membimbing
jamaah dengan melafazkan doa tawaf dengan suara keras yang kemudian
diikuti oleh para jamaah. Pada akhir putaran ke tujuh rombongan
berkumpul di area yang sejajar dengan Multazam dimana ustadz Ryan
telah menunggu dan mengacungkan buku serta identitas travel kami.
Seluruh
jamaah berkumpul menuju ketempat beliau
berdiri, aku berada dibarisan yang paling belakang. Ustadz Ryan
memimpin do’a sesudah tawaf. Kemudian beliau mengisyaratkan agar
para jamaah membuat barisan kebelakang dan memerintahkan untuk sholat
sunat Tawaf dua rakaat sedang beliau sendiri tetap berdiri dibarisan
paling depan paling dekat dengan Multazam. Ketika
aku mencoba memasuki barisan beliau memanggil dengan melambaikan
tangan ke arahku. Aku mendekat dan beliau memberi isyarat agar aku
berdiri menggantikan posisi beliau. Aku berdiri ditempat sebelumnya
ustadz Ryan berdiri. Posisi paling depan dan paling dekat dengan
Multazam. Beliau mempersilahkan aku untuk sholat sunat Tawaf lalu
beliau pindah tempat entah aku tak tahu kemana. Hatiku berdebar-debar
dengan kejadian ini, tapi aku tak mau berlama-lama tertegun. Aku
segera sholat sunat thawaf dua rakaat lalu melanjutkan dengan
doa-doa. Aku berdoa dengan khusuk, tangis sedu sedanku pecah tanpa
dapat kutahan. Aku merasa begitu dekat dengan Allah dan mengadukan
segala himpitan kepedihan yang aku rasakan selama ini memanjatkan
seluruh permohonanku.
“
Ibu belum selesai berdo’anya” suara ustadz
Ryan cukup mengagetkan aku.
Aku
menoleh. Kulihat ustadz Ryan duduk
disebelah kananku. Aku tak dapat menjawab, aku merasa agak risih dan
malu karena mukaku merah, sembab dan penuh linangan air mata. Kutatap
beliau sebentar kemudian menunduk malu tanpa menjawab.
“
Kalau belum selesai, silahkan lanjutkan lagi ibu.
Saya tunggu disini sampai selesai, tapi teman-teman sudah menunggu
untuk persiapan Sa’i” ujarnya seraya menunjuk kepada rombongan
yang telah menunggu didekat bukit Safa.
Ternyata aku berdoa terlalu khusuk sehingga aku tak menyadari bahwa
aku berdoa sudah sangat lama bahkan rombongan meninggalkan
Multazampun aku tak tahu. Aku menelungkupkan kedua telapak tangan ke
muka, lalu menghapus air mata yang masih meleleh di mukaku dengan
sapu tangan handuk. Setengah menoleh aku mengangguk pada ustadz Ryan
mengisyaratkan doaku telah selesai.
Ustadz Ryan mengiringi langkahku, mendekati tempat minum zam-zam. Dia
mengambilkan segelas zam-zam lalu diberikan kepadaku. Aku menerima
pemberiannya sambil masih menunduk, aku tak dapat membayangkan
wajahku saat itu. Kulitku yang putih membuat mukaku mudah menjadi
merah dan sembab sehabis nangis. Aku meneguk habis zam-zam
pemberiannya.
“
Ibu basuh saja mukanya dengan zam-zam supaya gak
terlalu bengkak” ujarnya kembali menyerahkan segelas zam-zam.
Aku
tersipu malu seraya menerima air itu, artinya mukaku sangat merah dan
sembab sampai-sampai ustadz Ryan bilang
supaya gak terlalu bengkak. Rasa dingin menjalar ketika aku
menyiramkan zam-zam kemukaku.
Aku
segera bergabung dengan rombongan dan ustadz Ryan
kembali memimpin perjalanan Sa’i. Ada perasaan gamang didalam
hatiku mengingat kejadian setelah tawaf tadi. Sikap ustadz Ryan yang
penuh perhatian membuat hatiku galau. Kalau kemarin-kemarin
cerita-cerita beliau yang kurasakan seolah-olah menyindir dapat
kutepis tapi sikapnya tadi apakah bisa kuhilangkan dari hati yang
telah tersentuh. Apa makna semua sikapnya apakah hanya suatu bentuk
kasih seorang anak terhadap seorang ibu? Aku tak bisa menyimpulkan.
Sampai rute Sa’i yang ke tujuh dan berakhir di bukit Marwah bahkan
setelah tahalul aku masih tertunduk bisu tak berani menatap wajah
ustadz Ryan yang tengah memberikan arahan kepada para jamaah karena
umroh telah selesai.
Dalam
perjalanan pulang, lagi-lagi dia
mensejajari langkahku tepat di depan Ka’bah. Dia tersenyum.
“
Mau langsung pulang ke hotel atau tetap tinggal
disini sampai subuh ibu?” sapanya. Aku membalas dan tersenyum ragu.
Kulihat jam besar di Zam-zam Tower menunjukkan tepat pukul 2.00 WSA
“
Sepertinya pulang dulu ustadz. Lumayan bisa tidur
dua jam. Jaga kondisi ” jawabku
“
Betul ibu, sebaiknya memang begitu. Saya
perhatikan ibu belum sempat istirahat sejak tiba di Madinah ya…?”
Kembali aku tersenyum, hatiku makin bergetar
mendengar ucapannya.
“
Iya ustadz, semangat ibadah membuat saya gak
merasa lelah, tapi tetap harus jaga kondisi” balasku seraya
bercanda menghilangkan keresahan dihatiku. Aku sendiri menjadi salah
tingkah dengan sikapnya, risih karena aku toh tidak sendiri. Ada uni
Laila dan yuk Tasya. Hal yang paling aku takutkan mereka curiga lalu
akan jadi bahan gunjingan.
“
Ustadz kok orang-orang itu boleh ya berfoto-foto
dekat Ka’bah? Memang boleh?” tanyaku menetralkan kekakuan
“
Boleh kok”
“
Oh… gitu ya”
“
Kenapa ibu mau foto juga? Ayo mana cameranya biar
saya yang fotoin bu”
“
Sayangnya… cameranya gak dibawa. Saya trauma,
karena dulu waktu saya haji pernah camera saya ditahan”
“
Oh ibu sudah haji juga? Tahun berapa?”
”
Tahun 2006”
”
Hmmm... tahun 2006 terjadi peristiwa kelaparan
karena catering haji bermasalah itu ya....”
”
Iya... tapi gak sampe segitunya kok. Pake istilah
kelaparan, nanti busung lapar lagi” candaku. Kulihat ustadz Ryan
tergelak.
”Kalau
umroh pengawasannya gak begitu ketat. Jadi memang boleh ambil
foto-foto dekat Ka’bah. Pada saat haji memang dilarang karena takut
malah terjadi “chaos”. Jadi
ibu bawa aja cameranya setiap kesini”
“
Iya deh. Terima kasih informasinya” balasku
sekenanya. Kulihat dia tersenyum mendengarkan jawabanku.
Kami
jalan beriringan dengan posisi ustadz Ryan sedikit agak didepan.
Ketika melintasi tempat minum zam-zam yang berjejer uni Laila
berteriak minta tunggu untuk mengisi zam-zam di botol yang dibawanya.
Kesempatan ini kupergunakan untuk
menghindari ustadz Ryan.
“Ustadz
kalau mau jalan duluan ayo aja. Kami agak lelet nih” candaku
“Ibu
gak apa-apa pulang sendiri?” tanyanya seolah-olah khawatir
“Kan
kami bertiga ustadz” balasku bercanda lagi
“Ya
okelah kalau begitu, saya jalan duluan ya ibu. Hati-hati..”
“
Oke ustadz terima kasih”
Sesampai
di kamar hotel, aku langsung mengganti pakaian
dengan pakaian tidur dan merebahkan diri. Malam itu aku tidur dengan
sejuta persaaan yang tak dapat di bahasakan.
********************
Ketika
antri sarapan pagi itu di ruang makan
lantai 2, aku menjadi risih dan sedikit agak salah tingkah, karena
tanpa sengaja saat aku menoleh mencoba mencari posisi duduk dan meja
yang masih kosong aku melihat sesosok mata yang menatap ke arahku.
Ustadz Ryan di meja pojok kanan bersama rombongan muthawif. Aku
segera menunduk dan meneruskan antrian.
Aku
mengambil makanan dan kami bertiga mencari
tempat duduk di pojok sebelah kiri, namun sedang asyik ngobrol sambil
menyantap nasi goreng menu sarapan pagi ini aku sedikit terperangah
ketika mendongakkan kepala, Tepat di meja depanku kembali kudapati
sepasang mata memperhatikan gerak-gerikku. Ustadz Ryan? Bukankah tadi
mereka duduk di pojok kanan ruangan? Kenapa sekarang mereka sudah
berada di meja tepat di depan kami? Aku segera mengambil kesimpulan
tadi mereka memang cuma duduk-duduk ngobrol dan belum mengambil
sarapan. Ya Allah….Hatiku bergetar. Salahkah penafsiranku?
Selanjutnya ruang makan menjadi tempat yang membuat aku risih dan
salah tingkah yang menjadikan porsi makanku baik sarapan, makan siang
dan malam menjadi sedikit. Ahaa…. Diet secara tak langsung.
********************
Minggu,
27 Maret 2011 pukul 7.30 WSA seluruh jamaah berkumpul di Lobby hotel
untuk melakukan ziarah ke tempat-tempat bersejarah di kota Makkah,
Jabal Nur, Gua Hira, Arafah, Jabal Rahmah, Muzdalifah, Mina dan
terakhir ke Masjid Ji’ronah untuk mengambil miqat umroh sunat yang
kedua. Selama perjalanan itu kembali aku mendengarkan cerita-cerita
tentang janda-janda hebat di zaman Rasulullah serta kata-kata
sindiran betapa dia menginginkan dapat segera nikah. Aku makin
mengerti dan makin jelas untuk siapa kata-kata dan cerita-cerita itu
ditujukan, tetapi aku berpura-pura tidak tahu. Aku hanya khawatir dan
takut mengambil kesimpulan. Sikapnya yang begitu “care”
terhadapku kubalas dengan sikap ramah dan sebiasa mungkin.
Umroh
kedua ini berjalan biasa-biasa saja bahkan agak sedikit tidak teratur
karena pelaksanaan umroh kedua ini kami tidak melihat ustadz Ryan
ditengah kami. Pelaksanaan umroh dipimpin oleh ustad Riza yang
sepertinya belum terbiasa. Entah apa yang menyebabkan beliau tak
dapat membimbing? Hatiku agak sedikit khawatir, sakitkah beliau?
Karena memang sejak awal beliaulah yang paling dominan bertanggung
jawab terhadap perjalanan kami. Ada perasaan aneh dalam hatiku. Aku
merasa ada sesuatu yang hilang.
********************
Selasa,
29 Maret 2011, habis melakukan sholat
Subuh, kami bertiga, aku uni Laila dan ayuk Tasya langsung melakukan
Tawaf Wada. Ketika meninggalkan Ka’bah
air mataku menetes. Ini hari terakhir kami di kota Makkah. Jam
sembilan pagi nanti kami akan meninggalkan kota Makkah menuju Jeddah
untuk kembali ke Indonesia.
Pulang
dari Masjidil Haram kami langsung menuju ruang makan. Sesampai
di ruang makan lantai 2 kami bertiga langsung masuk ke dalam antrian
sarapan pagi. Dipojok kanan kembali kulihat ustadz Ryan dan para
muthawif lain asyik ngobrol. Aku menatap wajahnya yang terlihat
murung. Aku menunduk setelah menyadari matanya tertuju penuh padaku.
Aku mencoba sedikit bercanda dengan Dian yang juga mengantri di
belakangku untuk menghilangkan rasa gugup. Tidak ada yang luar biasa
kegiatan makan pagi itu. Aku sendiri juga merasa sedih yang luar
biasa. Sedih karena akan meninggalkan kota Makkah yang penuh rahmat.
Ataukah juga merasa sedih karena akan kehilangan sebuah perhatian
yang aku baru rasakan selama tujuh hari di Makkah. Ah… waktu memang
terasa singkat untuk sebuah rasa yang membahagiakan.
Diatas
bis dalam perjalanan tour ke Laut Merah,
kembali kusaksikan raut wajah ustadz Ryan yang sama sekali jauh dari
keceriaan seperti pertama aku berjumpa dengan dia. Sepanjang
perjalanan kembali beliau menerangkan tempat-tempat istimewa di
Jeddah yang dijumpai sepanjang perjalanan seperti Istana bawah laut,
juga detail dan kebiasaan penduduk kota Jeddah. Beliau sempat
bercerita tentang sejarah masjid Terapung. Masjid itu dibuat oleh
seorang janda kaya yang bernama Siti Rahmah. Aku meneguk ludah dan
menunduk terpekur mendengar cerita beliau.
“
Sebentar lagi kita akan sampai ke Balad City,
pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di Jeddah. Kalau bapak-bapak
dan ibu-ibu mau belanja inilah tempatnya. Parfum, barang-barang
elektronik, jam tangan, tas. Harga disini lumayan murah karena
barang-barang disini bebas pajak” jelas beliau.
“
Untuk makan siang kami menyediakannya di
restaurant Garuda. Kami membatasi waktu makan siang sampai jam dua
siang. Teknisnya kami serahkan kepada para jamaah. Bagi yang ingin
belanja dulu silahkan. Dan bagi yang ingin santap siang dulu boleh.
Yang penting tepat jam dua seluruh jamaah harus sudah kumpul kembali
disini. Bis tetap akan diparkir disini”
ujarnya lagi sebelum membubarkan rombongan.
Aku
turun dari bis dan sedikit berbincang
membalas sapaan ustadz Ryan yang membarengi langkahku. Dia
menjelaskan tata cara belanja dan barang-barang apa saja yang
dinilainya cukup murah. Dia juga menjelaskan sistem tawar menawar
dalam setiap berbelanja. Aku tersenyum membalas keterangannya.
“Ibu
mau makan siang dulu atau langsung belanja?” tanyanya
“Kayaknya
makan siang dulu deh. Takut asam lambung keburu berontak. Gawat deh
kalau sudah diamuknya” candaku
“
Ibu bisa aja “ ujarnya tertawa.
Masuk
ke restaurant Garuda kulihat antrian panjang sampai ke anak tangga.
Aku tersenyum membalas ucapan salam ustadz Unang yang telah lebih
dulu mengantri.Ustadz Unang adalah orang
yang aku ajak berargumentasi saat aku minta penjelasan mengapa visaku
tak keluar ketika di bandara Soekarno Hatta saat keberangkatan.
Restaurant penuh sesak karena seluruh jamaah At-Taubah dari seluruh
cabang di Indonesia bergabung disitu. Karena terlalu sesak makan
siang tak begitu nyaman. Aku kurang nafsu makan. Selesai makan siang
bergegas kami keluar dan sedikit berkeliling pertokoan Corniche. Tak
banyak yang kubeli. Aku membeli beberapa botol parfum untuk oleh-oleh
buat adik dan kakakku, kacamata Rayban yang memang sudah sejak lama
ingin kubeli. Memang harga di Jeddah hampir setengah harga di
Indonesia.
Aku
naik ke bis, kulihat baru separuh jamaah
yang ada. Aku duduk dan membuka kembali kacamata yang baru kubeli.
Kulepas kacamata hitam yang kupakai, kusimpan dan aku langsung
memakai yang baru. Tak lama kemudian para jamaah mulai berdatangan.
Di dalam bis mereka sibuk berceloteh seraya saling memperlihatkan
barang-barang yang dibeli. Aku tersenyum mengamati. Jamaah dari
Indonesia memang terkenal paling hobby belanja.
Setelah
seluruh jamaah masuk, dari jendela bis
kulihat ustadz Ryan naik. Masih dengan raut wajahnya yang murung. Bis
mulai bergerak.
“
Bapak dan ibu tak lama lagi kita akan tiba di
Bandara King Abdul Aziz. Alhamdulillah penerbangan kita di bandara
Internasional bukan bandara haji, sehingga urusannya gak terlalu
ribet ”. Terdengar ucapan hamdallah dari para jamaah.
”Makin
deket nyampe bandara saya kok merasa sangat sedih ya. Bandara adalah
tempat yang paling saya benci. Karena bandara adalah tempat yang
memisahkan pertemuan. Entahlah saya sudah sering menjadi pembimbing
jamaah haji ataupun umroh, tapi kenapa kali ini saya merasa sangat
sedih” ujarnya
Aku merasa tersindir, kurasakan pedih di hatiku yang paling dalam.
Ucapan dan kata-kata itu tak mampu aku artikan. Aku bersyukur ketika
sebagian jamaah ada yang berteriak bercanda mengomentari ucapan
ustadz Ryan yang begitu asing dan aneh untuk ukuran seorang ustadz.
Untung aku mengenakan kaca mata hitam sehingga mataku yang mulai
berembun mendengar kata-kata ustadz Ryan yang terasa melankolis tak
terlihat.
Dari
kejauhan aku melihat pelataran bandara yang
dipenuhi calon penumpang yang baru turun dari bis. Bis kami sudah
mulai memasuki pelataran parkir bandara King Abdul Aziz, hatiku makin
pedih. Ustadz Ryan kembali memberikan pengarahan kepada jamaah agar
begitu turun dari bis langsung menunggu saja di ruang tunggu. Bagasi
dan dokumen imigrasi akan diurus oleh para muthawif.
Bis
telah berhenti di pelataran parkir. Jamaah
saling mendahului untuk turun dari bis. Aku masih duduk di bangkuku
terasa enggan untuk turun. Kulihat ustadz Ryan telah turun dan sibuk
mengurusi bagasi. Aku turun dari bis dengan gontai menuju ruang
tunggu bandara. Mataku berkeliling mencari mushollah untuk
mengerjakan sholat Dzuhur dan Ashar sekaligus. Di sebelah kanan aku
membaca petunjuk menuju mushollah. Aku berteriak memanggil uni Laila
dan yuk Tasya. Setelah sepakat kami akan bergantian, yuk Tasya
menunggui barang jinjingan kami dan uni Lailai bersamaku sholat
duluan.
Bu Ratih berteriak mengabsen nama kami satu persatu untuk membagikan
dokumen imigrasi serta tiket Jeddah – Jakarta. Karena sudah tak
kebagian kursi diruang tunggu aku duduk dilantai menunggu namaku
dipanggil. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara teriakan memanggil
namaku. Aku menoleh ternyata ustadz Zamzami yang memanggilku, aku
mendekat beliau menyerahkan passport dan dokumen imigrasi serta tiket
Jakarta – Jeddah, Jakarta – Palembang. Rupanya aku terpisah
tempat duduk di pesawat dari rombongan meski masih tetap dalam satu
pesawat.
Tidak
begitu jauh dari ustadz Zamzami aku melihat ustadz Ryan berdiri
menyendiri disudut pintu masuk ruang tunggu. Kulihat dia mengamati
gerak gerikku. Jantungku berdebar kencang. Entah keberanian dari mana
yang membawa langkahku mendekatinya. Kulihat dia ikut menyosong
kedatanganku seraya tersenyum.
“
Ustadz, saya sudah dapat dokumen imigrasi dan
tiket pesawat. Artinya inilah saatnya saya harus pulang” sapaku
mencoba tersenyum seraya menangkupkan kedua tangan di dada sebagai
ganti berjabat tangan.
Kulihat dia berusaha tersenyum sambil menangkupkan kedua tangannya di
dada. Menatapku dengan wajah sendu tanpa berkata-kata.
“
Ustadz saya pamit dulu ya. Saya mengucapkan banyak
terima kasih atas semua kebaikan dan bantuan ustadz kepada saya
selama perjalanan ibadah ini. Terima kasih telah memperbaiki memory
card camera saya, terima kasih juga buat flashdisk kupu-kupunya dan
semuanya yah. Saya gak bisa membalas, hanya Allah yang akan membalas
semua kebaikan ustadz” ujarku lagi meredakan gemuruh hatiku.
Dia masih tersenyum memandangiku.
“
Apa yang saya berikan ke ibu rasanya memang pantas
untuk orang sebaik ibu. Saya juga berterima kasih ke ibu, karena saya
banyak belajar dari kekaguman saya terhadap ibu” jawabnya
Aku tersentak, mukaku terasa panas merona mendengar ucapannya
“Subahanallah!
Oh …….. ya? Lebay banget ustadz“ balasku setengah bercanda.
Dia
menatapku dalam-dalam sambil tersenyum
tipis.
“
Memang tak bisa dijabarkan secara gamblang tentang
kekaguman saya ke ibu, karena cuma bahasa hati yang dapat
menjelaskan. Tapi bagi saya ibu sungguh luar biasa. Sikap, tatakrama
dan kelemah lembutan hati ibu” ucapnya. Mukaku terasa memutih
mendengar kata-katanya.
”
Ustadz jangan terlalu berlebihan memuji saya,
karena kok mendengar pujian ustadz jilbab saya jadi terasa sempit.
Artinya kepala saya makin membesar” jawabku asal
”
Ibu selalu mengalihkan topik. Serius lo..bu.
Secara tak langsung saya selalu memperhatikan sikap ibu terhadap
jamaah lain. Begitu santun terhadap yang lebih tua, tapi dapat pula
bercanda dengan yang sebaya atau lebih muda. Dalam ibadahpun ibu
gigih. Ibu hebat. Ada sesuatu yang special tersimpan di hati saya
tentang ibu” ujarnya lirih.
Aku
berusaha tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala untuk menepis
debaran hebat yang terasa di jantungku.
“
Sayang waktu kita terlalu singkat ya….Saya
rasanya ingin ikut pulang ke Indonesia. Kebetulan saya sudah lama tak
pulang sudah sangat rindu kampung halaman, tapi apa boleh buat
panggilan tugas belum selesai. Kuliah saya belum kelar” ujarnya
lagi
“
Tidak ada yang singkat, toh meski singkat
perjalanan ini amat bermakna ustadz. Singkat
tapi penuh arti daripada lama tapi percuma“ candaku
“Haaa.....
100 buat ibu. Cerdas!” balasnya tersenyum
“Insya
Allah kalau Allah berikan saya rezeki tahun depan saya bisa umroh
lagi” ujarku menghibur
“Amin.
Insya Allah saya dapat membimbing ibu lagi”
“Amin.
Baik ustadz saya pamit dulu, sepertinya jamaah sudah disuruh masuk
untuk check in dan pemeriksaan dokumen imigrasi. Terima
kasih untuk semuanya”
“Selamat
jalan ibu, hati-hati semoga selamat sampai tujuan. Tolong
doakan saya supaya segera dapat istri yang secantik dan sebaik ibu”
“Saya
doakan semoga yang diharapkan terkabul. Nanti walimahannya jangan
lupa undang saya ya........”
“Amin.
Insya Allah….Tadinya saya ingin seperti Rasul yang bisa melindungi
wanita sebaik ibu” balasnya
Aku
tertawa renyah. Hatiku miris seolah tak percaya
dengan ucapannya.
“Oke
ustadz saya permisi. Assalamu’alaikum”
“Alaikum
salam selamat jalan ibu “
Aku
bergegas menuju tempat rombongan yang sudah mulai bergerak untuk
melakukan check in dan pemeriksaan dokumen imigrasi. Langkahku
sarat dengan kecamuk rasa bahkan aku tidak berani untuk menoleh lagi
ke belakang. Hatiku berbisik “ selamat tinggal ustadz Ryan, kan
kusimpan kekagumanmu untukku” Tepat pukul 19.30 WSA GA 981
meninggalkan Bandara King Abdul Aziz. Meninggalkan benih-benih cinta
yang mulai bersemi.
********************
Aku
tengah asyik menonton sinetron “Anugerah”
di chanel 2 RCTI. Sosok Fandy yang menjadi tokoh dalam mega sinetron
ini membuat aku kembali mengenang ustadz Ryan. Rambut gondrong dan
sikap Fandy benar-benar mirip dengan ustadz Ryan. Hatiku galau. Aku
berjalan ke kamar. Kuambil flashdisk dengan gantungan kupu-kupu
hadiah dari ustadz Ryan di laci meja riasku. Aku mengeluarkan
laptopku dan mencoba memutar lagu yang tersimpan di flashdisk
tersebut. Lagu terbaik dari Raihan berjudul “Sesungguhnya”
yang selama perjalanan berulangkali diputar di bis oleh ustadz Ryan.
Aku simak pelan-pelan syair lagu tersebut. Aku baru menyadari makna
yang amat dalam dalam bait-bait syairnya. Baru kusadari perihnya hati
ustadz Ryan karena merasa aku telah menampik perasaan dan segala
sikapnya untukku.
Tanpa
terasa air mataku menetes aku merasakan kerinduan yang amat dalam
kepada ustadz Ryan. Sekarangpun aku baru
menyadari bahwa sesungguhnya akupun telah menyemai benih-benih cinta
itu. Tapi aku tak tahu kemana rasa ini akan berlabuh. Kubiarkan angin
membawanya. Lagu “Sesungguhnya” dari Raihan kuputar berulang
kali sampai air mata tak mampu kubendung lagi. Ada cinta yang
tertinggal di tanah Haram. Namun cinta
takkan hadir, namun rindu takkan berbunga tanpa izinMu ya Allah.
Lantunan lagu dari Raihan
mengalun-ngalun diantara derasnya tetes air mataku
Sebenarnya
hati ini cinta kepadamu
Sebenarnya
diri ini rindu kepadamu
Tapi aku
tidak mengerti mengapa cinta masih tak hadir
Tapi aku
tidak mengerti mengapa rindu belum berbunga
Sesungguhnya
walau kukutif semua permata didasar lautan
Sesungguhnya
walau kusiram dengan air hujan dari 7 langitpun
Namun
cinta takkan hadir, namun rindu takkan berbunga
Kucoba
mengulurkan sebuah hadiah kepadamu
Tapi
mungkin karena isinya tidak sempurna tiada seni
Kucoba
menyiramnya agar tumbuh dan berbunga
Tapi
mungkin karena airnya tidak sesegar telaga Kautsar
Sesungguhnya
walau kukutif semua permata didasar lautan
Sesungguhnya
walau kusiram dengan air hujan dari 7 langitpun
Namun
cinta takkan hadir, namun rindu takkan berbunga
Jika tidak
mengharap rahmatMu, Jika tidak menagih simpati padaMU ya Allah
Tuhan
hadiahkanlah kasihMU kepadaku
Tuhan
kurniakanlah rinduku kepadaMU
Moga
kutahu syukurku adalah milikMU
*******************
Palembang, 05 Mei 2011
Kenangan terindah perjalanan Umroh 2011
|
Ya
Allah, Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan kecuali Engkau. Engkau ciptakan
aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada di atas janji-Mu, semampuku.
Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan perbuatanku. Aku mengakui
banyaknya nikmat-Mu (yang Engkau anugrahkan) kepadaku dan aku
mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tiada
yang dapat mengampuni segala dosa-dosa kecuali Engkau.
|