Tuesday, July 30, 2013

BADAI ITU TELAH BERLALU

(Sebuah autobigrafi perjalanan hidup rumah tanggaku)


Naskah ini aku persembahkan dan kupersiapkan untuk dibaca anak-anak belahan jiwaku yang telah pergi mengkhianatiku. Ardi dan Nabila inilah kisah nyata kehidupan mama dalam membahagiakan kalian. Andai sekarang kalian ingkar, kalian membenci bahkan menebarkan fitnah tentang mama, mama anggap semua adalah cobaan Allah bagi mama untuk mengerti bahwa “tidak selamanya niat baik mampu dipahami dan berbalas kebaikan lagi. Namun karena aku bersabar maka Allah telah menghadiahkan rahmat yang sangat indah” Mama bahagia sekarang ditengah tangisan dan air mata darah karena rindu. Terima kasih anak-anaku. Doa mama selalu menyertai kalian 


Tetapi sekarang ini, kami tiada mencari penglipur hati pada manusia, kami berpegangan teguh-teguh pada tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.


Bila mendengarkan tausiyah dari beberapa ulama tentang memilih jodoh hatiku selalu miris dan menangis. Memilih jodoh untuk dijadikan pasangan hidup tidaklah seperti membeli kacang goreng. Salah pilih jodoh akan membuat kita sengsara selamanya. Inilah yang terjadi dalam hidupku, salah memilih pasangan hidup membuat aku bertahun-tahun harus berdampingan dengan seseorang yang membuat aku menderita secara fisik dan psikis.

Aku bukan tak menyadari segala kekurangan yang ada pada diri Freddy selama aku mengenalnya. Pengetahuan dan pengamalan agamanya yang sangat kurang, sifatnya yang egois, sangat perhitungan dengan materi/uang dan pendendam. Terlebih bila mendengar sepak terjangnya yang begitu bebas terhadap wanita. Sosok Freddy sama sekali bukanlah karakter laki-laki idamanku. Sama sekali aku tak menyukainya. Bahkan ketika Wulan sahabatnya yang baru menjadi sahabatku menjodohkan aku dengannya aku menolak mentah-mentah.

Kalau pada akhirnya aku menikah dengannya aku sendiri tak mengerti atas dasar pertimbangan apa. Aku menyadari keputusanku untuk menikah dengan Freddy adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Kala itu aku terdesak usiaku sudah memasuki 31 tahun, mendengar keinginan 2 orang adik laki-lakiku yang punya rencana menikah dalam waktu dekat membuatku sangat khawatir. Selain itu belum ada laki-laki yang serius terhadapku. Cuma Freddy yang pernah menawarkan untuk menjadi isterinya. Akhirnya tanpa banyak pertimbangan aku menerima tawarannya untuk menikah.


Kemelut Keuangan Telah Dimulai Sejak Pra Pernikahan

Kemelut dan masalah sudah dimulai sejak aku belum menikah dengannya. Sebelum melamarku pada orang tua, Freddy mengajak bernegoisasi bahwa untuk seluruh biaya pernikahaan akan menjadi bebanku dan tanggung jawabku dengan alasan uangnya sedang digunakan untuk membiayai pembangunan rumahnya. Aku memang sangat polos dan tidak berpikir negatif. Aku menyetujui saja. Akhirnya aku resmi dilamar dan tanggal pernikahan telah ditetapkan 28 November 1998.

Pada kenyataannya bukan sebatas itu saja dia memanfaatkan keluguan dan kepolosanku. Diluar perhitunganku dia mulai mengeruk sedikit demi sedikit uang simpananku. Kekurangan biaya pembangunan rumah dia meminjam uang tabunganku. Bahkan dia memerintahkan aku untuk meminjam dari Koperasi Karyawan. Aku tak mampu menolak karena dia akan memaki-maki bila aku tak mau. Akhirnya uang tabunganku dan seluruh perhiasanku benar-benar habis. Cuma tersisa 7 juta sedangkan total biaya pernikahan sekitar 11,5 juta. Aku memendam sendiri kemelut ini. Aku bingung kemana aku harus mencari kekurangan biaya tersebut sedangkan uang gaji dan insentifkupun saat itu selalu diminta olehnya.

Dia sendiri tahu bahwa uang yang ada padaku saat itu tidak lagi cukup untuk membiayai pesta pernikahan kami. Bahkan dia pula yang menyarankan untuk meminjam uang pada 2 orang adik laki-lakiku yang tinggal di Jakarta, karena dia tahu kedua adikku tersebut punya jabatan yang cukup lumayan di kantornya. Akhirnya dengan terpaksa aku coba menelpon Iyan dan Arie untuk mengutarakan maksudku meminjam uang. Mereka mengatakan bisa.

Namun tanpa sepengetahuanku, rupanya seluruh keluarga telah mengamati dan mulai curiga dengan kondisiku. Aku tak lagi memakai gelang, cincin, kalung emas yang biasa aku pakai. Kakak, adik dan keluargaku saling berdiskusi. Bagi mereka sungguh tidak masuk akal, aku sudah bekerja cukup lama dan perusahaan tempatku kerja lumayan bonafide, tetapi untuk biaya pernikahan saja aku harus meminjam uang. Akhirnya aku dipanggil papa dan seluruh keluarga untuk ditanyai. Aku terpaksa harus berterus terang bahwa uang simpanan dan perhiasanku telah dipinjam oleh Freddy.

Sore tanggal 14 November 1998, papa meminta dia dan aku menemuinya. Semua harus diklarifikasi kata papa. Aku menjemput dia kerumahnya menyampaikan keinginan papa. Ketika sampai dirumah, dia sangat kaget karena ternyata bukan cuma papa yang ada disitu. Seluruh keluarga bahkan kakak iparku hadir. Papa menanyai masalah rencana pernikahan sampai membahas tentang uangku yang dipinjam olehnya. Papa menegaskan yang namanya hutang harus tetap dibayar dan hutang-hutangnya selagi dia belum menikah denganku haruslah jadi tanggung jawabnya.

Kejadian inilah yang membuat dia sangat dendam dan benci pada papaku. Dia marah karena merasa telah dipojokkan dan dipermalukan oleh keluarga besarku. Dari kejadian ini pulalah seluruh keluarga menyuruh aku untuk membatalkan rencana pernikahanku. Menurut mereka belum menikah saja kemelut sudah ada apalagi nanti. Aku menangis dan sulit tuk membayangkan kalau harus membatalkan pernikahanku karena undangan sudah disebar. Dengan gamang aku memilih untuk tetap lanjut.

Awal Dari Penderitaan Panjang.
Akhirnya akupun jadi menikah dengannya. Inilah awal hari-hari penuh cobaan yang harus aku hadapi. Bahkan baru 8 jam setelah pesta pernikahanku penderitaan itu telah dimulai. Jam 6 sore setelah usai pesta pernikahan kami, dia menyatakan untuk pulang ke rumahnya dimana saat itu keluarga besar dia yang datang dari Jakarta dan Lampung berkumpul. Kata-kata kasarnya membuat aku pedih, dia bilang kalau aku mau ikut dia pulang silahkan dan andai aku gak ikut juga terserah. Kalau dia sendiri merasa haram untuk menginap dirumah papaku dan dia gak akan pernah mau menjemputku utnuk pulang ke rumahnya. Karena sudah menjadi isteri aku memilih ikut dengannya. Dia sama sekali tidak pamit untuk pulang kepada keluarga besarku, bahkan kepada Mama dan Papa pun tidak.

Malam harinya aku menjadi seperti seorang pembantu dirumahnya. Keluarga besar dia yang congkak, angkuh bersifat “bossy” membuat aku menangis dalam hati. Berkali-kali mereka berkata sinis menyindir mengejek keluargaku terutama papaku yang telah menyidang adiknya  soal uang pinjamannya padaku. Mencuci piring dan sebagainya tak henti-henti kulakukan. Bersyukur mereka tak begitu lama, keesokan harinya sekitar jam 11 pagi rombongan itu meninggalkan rumah Freddy.

Seminggu setelah pernikahan dia meminta padaku untuk menyerahkan seluruh uang dan perhiasan simpanan aku. Aku dengan pasrah menyerahkan buku tabungan yang berisi uang sebesar 2 juta . Uang tersebut adalah hadiah pernikahan dari Arie adikku.

“Cuma ini….??” hardiknya sinis. Aku tertunduk mengangguk.

“Mana kalung emas yang kau pakai waktu akad nikah kemarin”. Aku terkejut rupanya dia mengamati dandanan aku, sampai sempat melihat kalung itu. Kalung itu adalah milik Mama. Kalung panjang seberat 20 suku (1 suku = 6,7 gram),sedangkan liontinnya  berbentuk sendok sebesar 5 suku semua terbuat dari emas murni. Aku sudah tak punya lagi simpanan perhiasan. Aku menjawab bahwa kalung itu milik Mama. Dengan wajah berang dia melemparkan buku tabungan ke mukaku dan meludahi mukaku. Sambil berteriak Aku menunduk diam dan menangis dalam hati.Baru hari pertama setelah pernikahan aku telah menerima kekerasan seperti ini. Subhanallah.

“Kalau tahu begini, menyesal aku menikah dengan perempuan miskin sepertimu. Mending aku kawin dengan Florence, ketahuan uangnya banyak, tanahnya dimana-mana. Tidak seperti kau kawin cuma bawa Nonok. Bapakmu seperti orang hebat betul sampai menyidang aku didepan keluarga besarmu hanya karena uangmu yang tidak seberapa” teriaknya meludahi mukaku seraya pergi keluar rumah. Aku diam hatiku menangis. Tak seberapa katanya, uang sejumlah puluhan juta, perhiasan emasku sebanyak 67 gram?

Padahal pada akhirnya uang 2 jutaku diambil juga olehnya. Bahkan aku harus melunasi hutang-hutangnya pada Parta tukang rumahnya. Sepanjang pernikahanku tidak pernah sedikitpun dia memberikan nafkah untukku bahkan setelah memiliki anak sekalipun, tak jarang dia memaksaku menyerahkan uang insentif atau bonus tahunan yang kudapat. Aku tidak pernah membantah sama sekali, kuturuti semua keinginannya karena aku tak mau mendengar kemarahannya yang selalu mencaci maki papaku.


Kehamilan Pertama Yang Penuh Siksaan
Tak menunggu lama, sebulan setelah pernikahanku aku dinyatakan positif hamil. Aku bersyukur dan berharap kehamilan ini akan dapat membuat suamiku berubah. Masa ngidam yang amat berat. Hampir setiap makanan yang masuk ke perutku akan keluar lagi. Rasa mual dan muntah yang tak kunjung reda. Namun aku tak pernah mengeluh dengan kondisi ini. Aku menikmatinya. Ini anugerah Tuhan. Dengan semangat setiap habis muntah aku mencoba makan kembali. Aku berpikir biar sedkit pasti ada makanan yang nyangkut di lambungku, jadi dengan makan terus menerus akan banyak akumulasi makanan yang nyangkut di lambungku. Demi anak yang kukandung, demi perkembangan janinku.

Kehamilan yang amat sulit bagiku, karena ada kelainan yang kubawa dalam kehamilan ini, “Placenta Previa”. Satu hal lagi yang menyebabkan kehamilan ini begitu berat adalah sikap suamiku yang begitu bengis dan kejam. Karena ini selama 9 bulan hamil terhitung 19 kali aku harus opname di rumah sakit. Tak pernah lupa dari ingatanku ketika dia menyeret dan mendorong kepalaku ke lobang WC hanya karena aku tak dapat menahan muntah. Berkali-kali dia memintaku menggugurkan kandunganku karena menyesal menikah denganku yang tak pernah bisa memuaskan keinginannya untuk selalu menyediakan uang saat dia meminta.

Masih jelas terbayang saat dia marah karena aku telah merepotkan dia untuk diantar ke kantor. Pagi itu aku kesiangan sehingga bis antar jemput karyawan sudah lewat. Dia mengendarai vespa sekencang-kencangnya sambil terus mengeluarkan segala sumpah serapah sepanjang perjalanan. Saat itu usia kandunganku baru memasuki bulan ketiga. Aku menangis dan tak henti memohon perlindungan pada Allah karena takut terjadi kecelakaan. 
 
Masih jelas terbayang dalam ingatanku saat dia menyiramkan minyak panas ke tangan kiriku, hanya karena saat dia lewat meja masak yang memang saat itu ada ditengah rumah karena rumahnya sedang direnovasi tanpa sengaja gorenganku meletup-letup dan terpercik ke dia. Aku diam dan takut menangis hanya berusaha menahan perih.
 
Masih terbayang kekejian dia dan umaknya yang saat itu pada jam makan siang dia membeli 2 bungkus sate. Mereka makan lahap berdua, padahal masakanku juga dimakan. Dua bungkus sate itu licin tak berbekas tanpa menyisakan sepotongpun buat aku. Sebagai wanita hamil jangankan mendengar orang bercerita tentang makanan pastilah ada rasa ingin. Dan ini aku saksikan di depan mataku. Aku pula yang menyajikan sate itu di piring bahkan membuang bungkusnya yang licin tandas ke tong sampah. Aku meneguk ludah. Sampai-sampai keesokan hari di kantor aku nitip minta tolong kak Puji belikan sate di cafetaria kantor. Kak Puji dengan baik hati membelikan dan mengembalikan uang yang aku titipkan. Ngasih aja katanya. aku sama sekali tak bercerita tentang kejadian siang kemarin di rumah. Sambil menyantap sate aku menitikkan air mata... sedih seorang suami yang begitu tega terhadap istri yang hamil. Kak Puji hanya seorang teman kantor begitu baik menggratiskan satu bungkus sate plus lontong buat aku.
 
Masih teringat dalam ingatan aku aku hanya minum susu "Prenagen" saat awal bulan atau saat aku punya uang saja. Itupun aku beli susu kemasan kecil. Sedangkan dia setiap minggu sekali selalu membelikan susu dancow untuk umaknya dalam kemasan kotak besar. Aku sama sekali tidak iri...karena kewajiban anak kepada ibu itu lebih utama, yang aku sedih adalah saat dia tak punya uang untuk beli susu umaknya, dia menyuruh aku memberikan "Prenagen"ku untuk umaknya. Meski hatiku menangis aku tetap melakukan yang dia perintahkan. terpaksa aku stop dulu minum susu. Sedih sekali..susu yang aku beli sedikit demi sedikit dari sisa uang belanja, uangku sendiri tak pula dapat aku nikmati. Jika mau berpikir waras susu yang aku minum sesungguhnya manfaatnya bukanlah buat diriku tapi untuk calon anaknya.
 
Masih terbayang dalam ingatanku saat aku pingsan di tengah jalan di lapangan Volley komplek. Saat itu aku baru saja pulang belanja sayur di warung yang letaknya tak jauh dari lapangan volley dan buru-buru pulang untuk mengejar bis jemputan kantor  yang sudah standby di depan rumah. Saat aku pingsan seluruh penumpang bis turun dan menggotong aku ke rumah. Menurut penuturan teman yang menggotongku mereka pilu melihat dia memerintahkan untuk menidurkan saja aku dilantai dapur tanpa alas. Belum lagi setelah itu dia dan umaknya membentak-bentak aku, bikin susah dan malu saja katanya. Hamil manja. Padahal sama sekali aku tak ingin begini. Placenta Previa ini menyebabkan ulu hatiku terasa sesak saat berjalan. Apalagi kondisiku sudah hamil 7 bulan. Ya Allah...

Mengenang semua kekejaman itu membuat air mataku mengalir deras. Terlalu banyak kepedihan yang berbekas atas kebengisan sikap seorang suami yang seharusnya melindungi dan menjaga isterinya terutama dalam keaadaan hamil.

Tanggal 20 September 1999 akhirnya bayi yang kukandung selama 9 bulan dengan derita dan air mata itu telah lahir kedunia dengan sempurna dan berat lahir hanya 2,2kg. Ardi demikian nama anak pertamaku yang mempunyai makna seorang laki-laki yang cerdas dan bijaksana. Anak ini kuharapkan kelak dapat menjadi teman untuk menghadapi hari-hari penuh cobaan ini.

Ibu Mertua Yang Menjadi Duri Dalam Daging
Cinta suami yang luar biasa dan amat berlebihan pada ibunya merupakan tantangan dan cobaan yang luar biasa. Memang umak (begitu panggilan dia untuk ibunya) tak tinggal bersama kami tapi secara periodik dia tinggal bersama kami, seperti kebetulan setiap aku hamil umak pasti tinggal menetap dirumah.

Sebagai seorang muslimah aku sangat paham aturan tentang menghormati dan memperlakukan ibu mertua. Mama, Papa bahkan guru agamaku selalu mengajarkan itu. Bahkan perlakuanku terhadap umak melebihi sikapku terhadap Mama. Posisiku sangat sulit karena sikap ibu mertua yang memprovokasi pertengkaran demi pertengkaran kami. Kecurigaan dan tuduhan negatif yang selalu bersemayam di dalam pikirannya kadang menghakimi aku tanpa bisa membela diri. Hanya Allah tempat aku mengadu.

Sedih harus mengingat ketika dia marah-marah menudingku. Pulang istirahat siang itu aku mempersiapkan snack kesukaan umak untuk sore hari. Adonan pempek godo-godo (seperti bakwan dengan irisan wortel dan kentang tipis) telah kusiapkan. Sebelum pulang kembali kekantor aku menitip pesan pada Pipit pembantuku agar adonan tersebut digoreng jam 4 sore nanti. Kalau sudah jadi sajikanlah buat umak di piring. Suruh umak makan duluan. Pipit memahami pesanku.

Pulang kerja jam 5 sore (meski satu perusahaan aku memang pulang lebih dulu ikut angkot antar jemput, dan biasanya dia baru pulang ke rumah menjelang Maghrib dengan mobil kami) begitu aku mengucapkan salam aku langsung bertanya pada pipit

“Pit, pempeknya sudah digoreng”
“Sudah bu”
“Nyai sudah dikasih?”
“Sudah bu, tapi kata Nyai nanti aja tunggu bapak”
“Oh ya... makasih ya Pit”

Aku masuk ke kamar berganti pakaian. Setelah itu menggandeng lengan Ardi sambil menggendong Nabila kami menuju ruang keluarga dan ruang makan. Aku menyuruh Pipit meletakkan beberapa potong “godo-godo” dipiring. Pipit menyerahkan piring. Kuambil piring tersebut dan menyerahkannya pada umak yang sedang duduk dimeja makan sambil nonton TV.

“Mak ini ada pempek kesukaan umak (selama ini umak memang sangat suka godo-godo buatanku)” ujarku meletakan piring tersebut di meja di depan umak. Baru saja aku hendak menuangkan cuka dari botol ke mangkuk tiba-tiba umak bicara.

“Ndak ah...”
“Kenapa mak...biasanya umak suka”
“Kele (=nanti).....nunggu Dy”
“Kakak pulangnya malem umak. Nanti keburu dingin loh...” aku terus membujuk.
“Ndak ah...”

Aku menyerah, dan tidak berusaha memaksanya lagi. Kututup godo-godo tersebut dengan tudung saji. Ardi dan Nabila berteriak untuk meminta disuapin godo-godo tersebut. Sambil duduk di karpet dan menonton TV aku menyuapi anak-anak menyantap godo-godo sambil sesekali akupun ikut memakannya. Sedang asyik kami makan godo-godo tersebut dia  pulang dan melihat kami dia langsung berteriak menyapa umaknya dan dengan agak kasar berujar.

“Umak sudah makan godo-godo mak”
“Lom...” kudengar suara umak menjawab

Aku berdetak, nada suaranya yang keras pertanda dia sedang marah. Dan kudengar lagi omongannya.

“Umak kalau mau makan, makan aja mak. Atau minta sama Pipit, Kalau orang rumah ini mana pernah mau nawarin umak. Busuk hati” teriaknya keras dan kuat.

Aku diam dan menunduk, hatiku sakit. Tapi aku tidak menimpali sama sekali Ardi dan Nabila memelukku ketakutan. Kudengar piring dan gelas dibanting. Dia mengambil godo-godo untuk umak lalu mereka berdua makan di meja. Aku hanya diam pedih. Alangkah tidak punya perasaan umak, mengapa dia tidak membelaku disaat dia menuduh aku tadi. Bukankah aku telah berkali-kali menawarkan dan membujuknya. Ya Allah......Dan selama kehidupan pernikahan peristiwa seperti ini, perilaku umak sering sekali terjadi dan aku hanya diam sambil menjerit dan menangis dalam hati

Anak Keduaku Mengidap Autisme.
Anak keduaku lahir 14 bulan setelah anak pertama. Nabila lahir normal dengan berat 3,5 kg. Lucu dan cantik. Namun tidak kuduga Nabila mengidap Autisme dalam perkembangannya. Dilema yang sangat pelik bagiku untuk membesarkan Nabila mulai dari terapi perilaku bahkan diet ketat untuk asupan makannya. Aku sendiri mengabaikan kondite dan prestasi kerjaku karena lebih sering izin meninggalkan kantor untuk urusan terapi dan sekolah Nabila.

Betapa aku menangis dan hampir tidak tidur bermalam-malam ketika vonis dokter menyatakan Nabila mengidap autis ringan. Sebenarnya secara spektrum Nabila berada pada ADHD dan Autis. Namun menurut pengamatanku ADHD nya lebih besar.

Meskipun punya seorang suami membesarkan Ardi dan Nabila terasa sendirian. Terlebih membesarkan Nabila, bagaimana beratnya aku harus naik turun bis kota mengantarkan Nabila terapi di RSUD Moehammad Hoesin. Juga ketika tempat terapi pindah ke klinik Dempo. Aku sudah terlalu sering meninggalkan jam-jam kantor. Aku sempat memohon dia untuk menolong hanya mengantarkan saja, dan pulang terapi gantian aku yang menjemput. Sampai suatu hari terjadi pertengkaran karena urusan antar mengantar terapi Nabila.

“Mulai besok kau antarlah sendiri Nabila terapi. Aku capek” teriaknya membentak.

Aku terdiam menahan tangis. Capek apanya???? Bukankah dia mengantar Nabila pakai mobil? Bagaimana aku yang selama ini naik turun bis, angkot lalu becak? Aku tidak pernah mengeluh sama sekali. Kalaupun aku minta bantuan karena aku sudah jadi omongan terlalu sering meninggalkan kantor pada jam-jam kerja.

Ditengah kesulitanku Allah selalu memberikan aku jalan keluar, kebetulan ada tetangga Mama, pak Basri yang terkena PHK. Untuk menghidupi keluarganya pak Basri menjadi sopir taksi dengan mobil pribadinya. Akhirnya pak Basri mau mengantar terapi Nabila. Aku tidak perduli meski biaya antar jemput Nabila sangat besar. Dengan jumlah gaji perbulan 1,8 juta dimana seluruh kebutuhan keluarga (dari bawang, listrik bahkan bensin mobil) menjadi tanggung jawabku, ongkos antar jemput Nabila 400 ribu, sedangkan biaya terapi rata-rata 400 ribu perbulan. Aku berpikir uang masih dapat kucari atau pinjam ke Mama, tapi waktu terus berkejaran memburu agar Nabila bisa kembali normal. Menurut dokter bila usia sudah mencapai 6 tahun akan sangat sulit kembali normal.

Perceraian Akhirnya Harus Terjadi.
Malang melintang aku berusaha keras mempertahankan keutuhan rumah tanggaku. Aku sudah demikian mengalah bahkan sudah menjadi “keset” (inget istilah yuk Dina, karena sudah demikian terinjak-injak oleh suami dan keluarga besarnya), tak juga mampu mempertahankan mahligai yang memang sudah kacau balau.

Indah sekali rencana Allah dengan skenarionya. Januari 2004 aku pindah unit kerja setelah lulus seleksi inhouse rekruiting karyawan baru badge 2004. Artinya meski kerja dalam perusahaan yang sama aku sudah tidak berada dalam satu gedung lagi. Bahkan lokasi kerjaku sangat jauh dari gedung utama.

Runtutan petaka ini bermula ketika pada suatu hari tanggal 5 Agustus 2004, aku menerima forward sms “Rosnah” (kakak perempuan tertua) yang dikirim olehnya.

Umak sudah bener-bener gak betah di Lampung. 
Ada Hawa umak Elvi, yang tinggal di rumah umak.
Salam
 Rosnah



Dengan kepolosan dan keikhlasan niat baikku aku segera membalas sms tersebut.

Kalau umak memang sudah gak betah di Lampung.
Kapan kakak ada waktu kita jemput umak.


Aku masih ingat hari itu adalah hari Rabu, pulang kerja sore itu aku dan dia  membicarakan rencana untuk menjemput umak. Kesibukan mulai terasa. Pontang-panting kami mencari pembantu tambahan yang spesial utnuk mengurus umak, sedangkan Pur dikhususkan untuk menjaga Ardi dan Nabila. Bersyukurlah melalui tukang tambal ban yang dulu membantu kami untuk mendapatkan Pur kami mendapatkan pembantu baru. Romiah nama pembantu baru tersebut datang Jum'at pagi. Dan jum'at malam bertiga kami, aku, dia dan Nabila menumpang kereta api berangkat ke Lampung. Sedangkan Ardi dititipkan ke rumah nenek (mamaku).

Sesampai di Lampung kami tidak menginap di rumah umak melainkan di hotel kecil tak jauh dari rumah umak. Sengketa harta warisan yang menyebabkan keluarganya saling mencurigai satu sama lain dan saling bertengkar. Terutama cik Elvi (isteri kakak laki-laki tertuanya) yang paling dicurigai punya ambisi untuk merebut harta umak. Padahal Elvi inilah yang selama bertahun-tahun mengurus umak.

Kami datang kerumah umak malam minggu, cuma sekedarnya dan sebentar sekali. Aku tetap bertegur sapa dengan Cik Elvi dan ibunya tapi sekedarnya saja, kalau terlalu ramah aku khawatir dia akan marah karena mengira aku bersekutu dengan mereka. Dia menyuruh umak bersiap-siap karena besok umak akan dijemput jam 7 pagi untuk dibawa ke Palembang. Setelah itu kami kembali lagi ke hotel. Minggu pagi kami membawa umak naik kereta api menuju Palembang.

Keributan dan kekacauan mulai terasa di rumah pagi Senin, hari pertama umak tinggal di rumah. Pagi itu karena semua sibuk melayani kepentingan umak terutama aku sehingga kepentingan anak-anakku agak terabaikan. Ardi yang memang saat itu masih sangat kecil 3,5 tahun sudah terbiasa kulayani. Sampai memakai seragam sekolahpun aku yang selalu mendandaninya. Hari ini Ardi benar-benar terabaikan. Berangkat kekantor dan sekolah jadi agak terlambat. Dengan emosi dia membentak-bentak Ardi, menyalahkannya seakan-akan Ardilah penyebab keterlambatan ini. Aku diam dan menangis dalam hati, tak dapat memeluk untuk menenangkan Ardi karena dia duduk didepan disebelah papanya. “Ya Allah ...baru hari pertama sudah banyak cobaan yang kami dapatkan dengan kehadiran umak. Berilah kesabaran bagiku, anak-anakku, pembantuku” desisku berbisik dalam hati.

Di hari ketiga umak tinggal di rumah. Sore sekitar jam 3 dia menelponku dikantor. Dia bercerita bahwa tukang bengkel menelpon, Rom bilang neneknya sakit jatuh di kamar mandi. Sedikit ngomel dia bilang itu cuma alasan Rom saja. Aku diam sambil berpikir lalu menimpali.

“Kak, jangan-jangan nenek yang dimaksudkan Rom itu umak kak”
“Iya juga ya kali...soalnya gak jelas tukang itu nelpon dan terputus”
“Iya umak kali kak. Ayo kita pulang”

Dengan bergegas kami pulang ke rumah meskipun jam kantor belum bubar. Ternyata dugaanku benar. Umak jatuh di kamar mandi. Kami lihat umak sudah tertidur di ranjang dengan seluruh bajunya basah semua, kulihat Rom menangis ketakutan sambil menceritakan kejadiannya. Dia sangat panik, berdua kami membuka dan mengganti baju umak.

Paniknya dia bahkan terlihat seperti sudah tidak waras. Dia mencari kayu untuk membuat tandu, dia berencana membawa umak ke tukang urut ahli patah tulang. Padahal belum ditanya apa yang terasa sakit pada umak. Menjelang Maghrib ditolong oleh Oon anak bik Harun umak dibawa ke tukang urut. Menurut tukang urut gak ada cedera apapun.

Sejak kejadian tersebut kami sangat direpotkan oleh umak. Dia yang terbaring dan tak mau bangun dari tempat tidur. Makan minum, mandi dan buang air di tempat tidur. Aku sendiri bingung padahal dari hasil rontgent, scanning juga pendapat tukang urut mengatakan tidak ada cedera apapun pada umak. Jadilah kondisi ini menjadi ujian kesabaran bagiku.

Semenjak menjadi karyawan bagian produksi aku tidak pernah lagi pulang ke rumah untuk istirahat siang, bahkan anak-anakkupun aku titipkan ke Mama, tetapi dengan kehadiran umak di rumah dan kondisinya sekarang aku selalu pulang kerumah bila istirahat siang untuk menyuapi, memberikan obat-obatan yang harus umak minum. Beruntung pak Amin atasanku memakluminya bila aku agak telat masuk kembali, karena aku sudah bercerita terus terang tentang posisi dan kondisiku.

Demikianlah situasi ini sudah berlangsung lebih dari sebulan. Intuisiku membaca, kondisi dan sikap umak ini hanyalah cara umak meminta perhatian lebih dari anaknya. Secara logika kalau memang ada yang cedera di kaki umak, kenapa dia bisa pindah dari kamar mandi ke tempat tidur tanpa bantuan siapapun pada saat hari kejadian? Lantas diagnosa dukun patah tulang, dokter bahkan hasil rontgent dan scanning juga mendukung intuisiku. Suatu hari saat aku sedang menyuapi umak, aku mencoba mengajak umak bicara. Sekenanya aku bicara,

“Mak, anggota tubuh itu sebenarnya harus digerakkan. Kalau tidak malah bisa jadi lumpuh beneran loh mak”. Umak diam mendengarkan ceritaku.
“Aku pernah sakit, dan diopname selama 2 bulan. Tidur di ranjang terus karena memang gak boleh bergerak. Eh.. pas sudah sehat, mau jalan gak bisa kaki terasa lumpuh. Jadi harus di terapi dan belajar jalan dulu” ujarku menjelaskan pengalamanku.
“Nian.... ????(= Bener???)” tanya umak seakan khawatir
“Bener mak. Makanya andai umak memang gak ngerasa sakit apa-apa, sebaiknya umak coba bangun deh. Latihan jalan. Daripada malah lumpuh beneran” ujarku menguji.

Kulihat umak terdiam. Namun ternyata omonganku ampuh juga, sore harinya sepulang kantor kami menyaksikan umak sudah berjalan-jalan dari kamar ke ruang tengah dengan gagah. Aku tersenyum dan dia terkaget-kaget. Dia mungkin tak tahu taktik yang telah aku jalankan. Namun aku menjadi tahu kalau umak amat sering mencari perhatian yang membuat kami kacau balau, bahkan pertengkaran. Bahkan betapa teganya dia menyedot perhatian dan tenagaku lebih dari sebulan sehingga anak-anakku terabaikan dan nyaris tidak tersentuh tanganku sama sekali. Selama satu bulan lebih Ardi dan Nabila menjadi anak mama dan pembantuku. Ya Allah....

Setelah kesembuhannya permasalahan pelik mulai muncul lagi, masih teringat seminggu menjelang Ramadhan dia mencaci maki dan membentak-bentak aku di dalam mobil menuju ke kantor. Didepan Ardi, Nabila dan Pur.

“Dasar perempuan busuk hati. Umakku dijahati dak ditegur jadi aja umak gak betah dan ingin pulang ke Lampung” bentaknya kasar.

Aku diam dan menangis dalam hati. Tak sepatah katapun terucap dari bibirku. Dan dia makin menyalak-nyalak. Aku menjerit dalam hati. Ya Allah...harus bagaimana lagi?? Harus apalagi yang aku lakukan untuk umak supaya baik?? Bahkan anak-anakku telah kunomor duakan. Kemana seluruh kebaikan, materi (karena kehadiran umak membuat keuanganku bener-bener terkuras habis demi menjamukan makanan yang enak-enak untuk umak) dan tenagaku yang aku lakukan selama hampir 2 bulan ini????

Seperti biasa mulut dia seperti ember. Dia selalu bercerita di kantornya tentang kejelekanku. Yang kutahu mulut dia sendiri bilang dia menceritakan semua pada kak Gurban, kalau karena aku jahat umaknya mau pulang. Ke Rosnah juga dia ceritakan semua. Aku sempat menangis ketika dia melemparkan 2 tiket pesawat ke mukaku. Dia mau mengirim umak dan Rom ke Jakarta. Aku tetap diam saja, enggan berbicara, tapi hatiku hancur. Aku sudah gak kuat lagi, keesokan harinya aku sakit, demam dan sakit kepala. Aku tak masuk kantor, dan ketika sore hari dia menjemput Ardi, Nabila dan aku dari rumah mama untuk pulang aku menolaknya. Hatiku sangat sakit.

Baru keesokan harinya aku mau diajak pulang. Sore hari aku mencoba masuk ke kamar umak.
“Umak mau pulang ke Lampung itu kenapa??” tanyaku baik-baik.
“Dikde...Aku nak balek. Aku nak nginak rumahku....”
"Umak...kalau umak mau tahu. Dari dulu kalau umak mau pulang ke Lampung, kakak tuh selalu nyalahin aku. Kami selalu bertengkar” ujarku setengah menangis.
“Ngape...aku nak balek ke rumahku. Bukan karena siape-siape” ujarnya santai.
“Kalau begitu umak ngomong deh ke kakak, bahwa alasan umak pulang karena mau lihat rumah. Bukan karena aku” ujarku sinis.
“Harusnya umak bisalah sedikit sabar. Sebentar lagikan bulan puasa, nah pas lebaran baru kita pulang sama-sama ke Lampung. Jadi gak ribut begini...” ujarku lebih sinis lagi.

Aku sudah hampir diambang batas kesabaranku. Bersyukur karena pembicaraan itu umak gak jadi pulang.

Karena umak ada di Palembang, rupanya seluruh keluarga besarnya ingin merayakan lebaran di rumah. Kesabaranku masih diuji terus. Persiapan lebaran dan menyambut keluarga besar sangat menyedot materi, tenaga dan psikisku. Lagi-lagi Ardi dan Nabila terabaikan.

Dengan dua orang anak yang masih sangat kecil dan butuh perhatian dan tanpa pembantu rumah aku sangat kerepotan melayani mereka. Lagak mereka benar-benar seperti bos. Makan minum tidak ada habis-habisnya. Piring kotor main lempar begitu saja. Aku sudah seperti pembantu, gak sempat makan, minum bahkan aku sempat lupa sholat shubuh karena takut pelayananku terlambat. Aku gak mau dicela lagi. Saking sibuknya aku meladeni mereka, Nabila sudah tidak terlayani olehku. Sebagai anak pengidap autis menu makan nabila harus benar-benar diatur. Asupan buah, susu dan lainnya harus seimbang. Siang itu Nabila menjerit-jerit kesakitan ketika mau BAB gak mau keluar. Duburnya sampai berdarah. Dengan hati menangis aku memeluk Nabila dan mencoba menyemprotkan air sabun ke duburnya. Baru setelah itu Nabila bisa BAB. Melihatkah hati nurani dia dan keluarga besarnya kejadian ini. Bahwa aku sudah sekuat tenaga berlaku baik kepada mereka, bahkan anakku kuabaikan untuk mereka??????

Tanggal 10 Oktober 2004 jam sepuluh hari Senin pagi, seluruh rombongan pamit mau pulang ke rumah masing-masing. Aku mengantar mereka ke pintu gerbang rumah. Masih kuingat rombongan terakhir pulang adalah Rosnah dan keluarga.
“Ayo Res, liburan anak-anak mainlah ke Jakarta “ ucap ucak menawarkan kami.
“Iya mbak, insya Allah. Memang kami sudah rencana mau liburan ke Jakarta ya kak?” balasku sambil melirik padanya.

Kulihat dia mengangguk. Basa basi itu masih sangat manis dan ramah. Kuantar kakak dan keluarganya sampai gerbang dan mobilnya menghilang, sedang dia menyusul mengikuti mobil mereka dengan mobil kami. Setelah itu aku kembali kedalam rumah bergegas sendirian membereskan rumah yang sangat berantakan. Kamar tidur, kamar mandi, ruang keluarga, lantai atas dan bawah. Jam dua siang rumahku sudah bersih dan rapih. Aku menata meja dan menyediakan makan siang untuk dia, lalu menyuapi Ardi dan Nabila. Setelah itu aku meneteki Nabila dan mengajak Ardi tidur siang.

Ardi dan Nabila sudah pulas tidur ketika suara klakson mobilnya berbunyi pertanda meminta bukakan pintu pagar. Aku bergegas setengah berlari membukakan pagar, sudah tabiatnya kalau terlambat sedikit membuka pagar, dia biasa marah dan berteriak-teriak membentak . Setelah menutup pagar aku kembali berlari kecil mengiringi dia. Menyuruhnya makan siang. Tapi kaget aku mendengar ucapannya, setengah membentak.
“Aku gak akan makan siang. Gak laper! “ ujarnya melengos seraya masuk di kamar belakang (kamar umak). Sebelum masuk menutup pintu kamar kembali dia berteriak kasar.
“Mulai hari ini, jangan ada yang berani masuk kamar ini. Kau juga gak usah masuk kamar ini. Anak-anak juga”

Bummm! Pintu dibanting. Aku tertunduk lemah. Air mataku hampir mengalir. Hatiku bertanya-tanya. Apa yang telah terjadi. Apa salahku sehingga harus menerima perlakuan ini. Aku termangu sesaat dan segera membereskan meja makan. Kumasukkan semua sajian ke dalam kulkas. Aku kembali ke kamar depan, tempat aku menidurkan Ardi dan Nabila. Anakku tidur pulas di kasur tergelar  lantai. 6 tahun menikah dan tinggal di rumah besarnya aku dan anak-anak memang selalu tidur di lantai beralas kasur yang terbuat dari busa jok (lamat). Aku merebahkan diri dan menangis tersedu. Nabila sempat terbangun dan mengusap air mataku dengan jarinya.

Aku mengusap air mataku, kupeluk Nabila dan mencoba menidurkannya kembali. Aku menutup mata dan tetapi tidak tertidur sama sekali. Aku puas berpikir. Rasanya aku memang sudah harus menyerah. Apapun yang kupersembahkan untuk keluarga besarnya tidak akan ada artinya. Bahkan sampai nyawaku kuserahkan aku tetap tidak akan pernah berarti dimatanya.

Sehabis Maghrib aku sedang menyuapi Ardi dan Nabila, ketika tiba-tiba dia beteriak-teriak memaki-maki.

“Uhhhh... betino busuk hati mak itu ceraikan saja “ teriaknya ketika menonton sinetron keluarga yang dibintangi oleh Krisdayanti yang menceritakan menantu yang jahat dengan mertua. Aku masih meredakan degup jantungku mendengar caciannya. Aku tahu sindiran itu ditujukan untukku. Belum reda degup jantungku tiba-tiba dia memaki lagi.

“Uhhhhh. Betino jahat cak itu matilah gancang”

Aku sudah tak dapat menahan diri lagi. Sambil menepuk meja aku ikut berteriak.
“Apa sih maksud kakak nyindir-nyindir begitu. Ada salah apa aku???”

Demi mendengar ucapanku tiba-tiba dia berdiri seraya mengacungkan telunjuknya di depan mataku.

“Ohhhh...kau merasa tersindir. Baguslah kalau begitu. Kau ini memang perempuan jahat. Gimana umakku bisa betah tinggal disini “ ujarnya.
“Jadi apa maunya kakak” lawanku.

Selama 6 tahun pernikahanku baru sekali inilah aku berani menjawab bentakan suami. Selama ini setiap dia berteriak, membentak, mencaci maki aku selalu diam saja. Tapi setelah kejadian ini aku telah berpikir panjang, berpisahpun aku sudah tak takut lagi.

Mendengar tantanganku tiba-tiba dia membalikkan meja makan. Praaannngggg! Kaca meja makan yang tebal pecah bertebaran. Lalu belum puas dia mengambil piring-piring yang bertebaran, melemparkannya ke segala penjuru, bahkan kompor gas di meja dapur penyot semua dilempar olehnya.
“Aku maunya begini. Ayo mau apa kau perempuan jahat hati....”

Aku menangis dan berusaha memeluk Nabila yang lari bolak balik keluar masuk kamar depan dan belakang karena ketakutan sambil mengoceh dengan bahasa planet. Nabila gak mau kupeluk. Melihat sikap Nabila aku kembali diam, seakan menyesal telah berteriak-teriak. Akhirnya Nabila bersembunyi di pojok dekat ranjang di kamar belakang. Aku sendiri gak berani masuk ke kamar tersebut. Kubiarkan saja Nabila disana. Aku berlari ke kamar depan kulihat Ardi duduk memeluk lututnya dipojok ranjang seperti ketakutan. Aku memeluk dan menggendongnya. Kupeluk dia sambil berbaring. Air mataku terus mengalir. Pikiranku berkecamuk. Ardi akhirnya tertidur.

Aku bangkit dan kubuka lemari. Hatiku tergerak untuk mengemasi barang-barangku. Rasanya aku sudah tidak rela lagi dijadikan istri. Hatiku hancur dan hambar. Ketika aku menjamah pakaianku untuk kumasukkan ke koper aku terpaku. Kulihat Ardi yang tertidur dengan wajah masih ketakutan. Kukembalikan pakaianku ke dalam lemari. Aku mengambil ponselku. Kutekan nomor telpon rumah papa. Kebetulan sekali papa yang mengangkat. Setelah mengucapkan salam aku langsung menangis.
“Pa....sepertinya aku sudah gak sanggup lagi pa. Jemputlah aku pa” mohonku pada papa.
“Tunggu dulu. Sabar...jangan emosi. Memang ada apa?”balas papa menenangkan.
“Rasanya biar nyawa yang kuberikan, tidak akan ada artinya sama sekali”
“Papakan sudah bilang dulu di saat kau mau kawin dengannya. Dia kurang bagus sifatnya. Tapi kau masih mau. Nah sekarang kau tahankan nak. Jangan pula diambil hati, ingat anak-anak.” nasehat papaku. Aku terdiam dan air mataku mengalir deras.
“Tapi aku sudah gak kuat lagi pa”
“Coba kau tahan dulu. Pikirkanlah panjang-panjang. Evaluasilah dalam-dalam, kalau sudah puas berpikir dan mengevaluasi datanglah ke papa. Jangan emosi, menurut papa sampai mati sifatnya gak akan pernah berubah, jadi kaulah yang harus bersabar” lanjut papa lagi.

Setelah mengiyakan nasehat papa, mengucapkan salam aku menutup telpon, menyimpannya kembali. Aku tersentak melihat Nabila yang muncul di pintu. Kudekati dan kupeluk erat. Nabila melepaskan pelukanku, ditatapnya mukaku , lalu lagi-lagi dengan jari-jari kecilnya dia mengusap air mataku.
“Mama jangan nangis ya” suaranya lucu.

Aku tersenyum, dan kembali memeluknya. Kami berbaring disisi Ardi.

Sejak kejadian malam itu, sudah 3 hari aku dan anak-anak tidak keluar dari kamar kecuali mengambil makanan dan membuat susu buat Ardi dan Nabila. Ruang keluarga masih berantakan, pecahan kaca, ceceran makanan dan nasi yang dilemparkan dia saat dia marah bertebaran dimana-mana. Aku membiarkannya saja. Aku tidak ingin merapihkannya. Tidak seperti biasanya saat dia marah dan membanting benda aku selalu dengan ketakutan segera membereskannya. Kali ini aku sudah mempunyai keberanian untuk menunjukkan sikapku. Aku bukanlah budak.

Jum'at sore kulihat dia merapihkan dan membersihkan ruangan keluarga. Aku diam dan mengintip dari kisi-kisi pintu kamar. Hatiku sangat sakit. Kembali aku berbaring disisi Ardi dan Nabila. Anak-anak tidak tidur tapi mereka juga enggan keluar kamar seakan mengerti kondisi sedang pelik. Kami berbaring dan saling berpelukan tanpa ekspresi. Tiba-tiba pintu kamar diketuk. Jantungku berdegub kencang. Aku tahu itu dia. Nabila dan Ardi secara refleks memelukku erat-erat seraya pura-pura memejamkan mata. Hatiku kalang kabut. Aku sangat takut kalau dia kembali marah-marah. Aku cuma khawatir terhadap anak-anak. Takut mereka trauma. Aku tidak ingin beringsut sama sekali untuk membukakan pintu.

Akhirnya dia membuka pintu sendiri. Aku masih tidak berekspresi dengan pandangan hampa ke langit-langit kamar. Dia merebahkan badannya disampingku, lalu memelukku. Aku tetap diam dan tetap tidak bergeming. Rasanya hatiku hambar. Aku baru mengerti maksudnya masuk ke kamar kami. Dia membujukku untuk hadir di pesta pernikahan Ferry, anak bik Harun besok pagi. Aku mendengarkan seluruh bujuk rayunya. Tapi dari serangkaian kata-kata yang diucapkannya tidak terdengar kata maaf dari bibirnya. Aku terisak perlahan dan segera menjawab.
“Gak usahlah aku ikut kondangan bik Harun kak. Aku malu. Aku cuma wanita jahat dan busuk hati. Gak pantes hadir di pesta kaum kerabat kakak” ucapku terbata.

Dia tak menimpali ucapanku. Segera berdiri dan membuka pintu lemari, mengeluarkan kain songket serta kebaya hijauku. Tiba-tiba dia berkata “Besok kau pakai ini ya Es”. Aku tetap tak menjawab sampai dia keluar dari kamar aku tidak beranjak sedikitpun dari tidurku.

Keesokan harinya aku berani keluar kamar, menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Menyapu dan beberes rumah. Setelah selesai kami bertiga kembali ke kamar depan. Dia sedang menghadiri akad nikah Ferry. Jam setengah sepuluh tepat tiba-tiba dia muncul di pintu kamar kami bertiga. Aku diam saja tanpa ekspresi.
“Haiii...kok belum pada dandan sih” sapanya dengan nada suara ceria.

Aku, Ardi dan Nabila terdiam, bahkan Ardi dan Nabila memelukku erat-erat. Sepertinya mereka masih ketakutan kalau-kalau dia akan membentak aku lagi. Melihat kami hanya termenung tanpa suara, dia beranjak masuk mendekati kami, duduk disisiku seraya memelukku erat. Badanku terasa kaku, hatiku terasa mati. Ditariknya lenganku untuk berdiri. Dia melucuti dasterku. Memakaikan songket dan kebaya hijau yang disiapkannya kemaren. Aku mematung tanpa kata.

Seketika aku menepiskan tangannya yang coba membedaki mukaku, kuraih bedak yang ada ditangannya. Aku berdiri kesisi jendela mencari cahaya. Aku mencoba berdandan. Kulirik dia merasa lega dan mencoba mendandani anak-anak. Akhirnya aku mengalah dan pergi juga ke pesta pernikahan Ferry anaknya bik Harun yang merupakan famili Eddy. Dengan rambut tergerai dan masih basah, wajah sembab, mata bengkak ditengah keramaian aku masih berusaha mengulaskan senyum dibibirku. Namun aku merasa semua mata seperti menyelidik melihat wajahku yang sangat terlihat habis menangis. Yah... selama 3 hari 3 malam air mataku mengalir sulit dihentikan.

Aku mengira semua sikap ramahnya membujukku untuk ikut hadir di pesta pernikahan Ferry itu berarti dia telah menyelesaikan segala emosi dan tuduhannya tentang aku yang telah berlaku jahat terhadap umaknya. Ternyata tidak sama sekali. Pulang dari pesta dia segera masuk ke kamar belakang (kamar umak kalau dia menyebutnya), menutup pintu. Bahkan ketika Nabila coba masuk kamar tersebut dia menyuruhnya keluar kembali. Nabila seperti memahami sikap papanya, dia memelukku dan mengajak aku tidur dikamar depan.

Sejak saat itu dia tidak pernah menyapaku dan anak-anak sama sekali. Dia tidur di kamar terpisah, dan makanan yang aku sajikan tidak pernah disentuhnya sama sekali. Aku memendam kondisi yang sangat menyakitkan ini sendiri. Hatiku sakit diperlakukan seperti ini. Aku tidak pernah tahu apa yang menjadi kesalahanku sama sekali. Ingin sekali aku dapat bertanya kepadanya mengapa aku diperlakukan seperti ini, namun kesempatan itu tidak pernah ada sama sekali. Kami memang tidak pernah saling bertatap muka. Pulang kerja dia langsung masuk kamar menguncinya dari dalam.


Aku sangat penasaran apa kesalahanku sebenarnya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirimkan sms ke Rosnah.

Apa sebenarnya yang telah terjadi pada saat 
kakak mengantar mbak pulang saat lebaran kemarin?
Apa yang salah yang sudah Esi lakukan? 
Tolong diberitahu, karena sejak pagi itu sampai
 saat ini aku tidak ditegur sama sekali.

Aku menerima balasan sms Rosnah.


  Aku gak tahu apa yang sebenarnya terjadi, 
tetapi kalau emang begitu sikap Freddy harusnya 
Esi koreksi diri.

Aku terkesima mendapat balasan tersebut. Tadinya aku memberanikan diri mengirimkan sms ke Rosnah, karena dia adalah orang satu-satunya yang disegani olehnya. Kalau menelaah kalimatnya aku menyimpulkan bahwa memang ada yang mereka diskusikan tentang aku pada saat perpisahan mereka waktu itu. Aku terdiam.

Sudah hampir 3 bulan dia memperlakukan aku seperti orang asing. Aku mengalah, diam demi anak-anak. Karena sebenarnya sejak kejadian dia membanting meja dan barang-barang malam hari itu aku sudah mengambil tekad untuk berhenti mengayuh biduk yang telah morat-marit ini. Malam itu tanggal 30 Desember 2004 aku sudah tak kuat lagi menahan diri. Aku mengirimkan sms buat dia.

Aku sudah cukup lama mencoba menahan diri.
 Sudah hampir 3 bulan aku diperlakukan seperti 
orang asing. Sekarang tolong kakak beritahu apa 
kesalahanku sebenarnya. Kenapa aku diperlakukan 
seperti ini????

Setelah sms tersebut delivery aku menarik nafas lega. Apapun yang akan terjadi aku sudah sangat siap. Sampai tertidur aku tidak menerima balasan apapun darinya.

Keesokan harinya tanggal 31 Desember 2004, setelah menitipkan Nabila di rumah mama, dalam perjalanan ke sekolah Ardi dan kantor kami, tiba-tiba kudengar dia berbicara dengan suara lantang.
“Kau jangan banyak ulah. Kalau dak terlalu penting gak usahlah ngajak aku bicara atau kirim sms gak penting segala. Tahu dak kau aku muak lihat kau”

Aku masih diam saja, karena aku menjaga perasaan hati Ardi.
“Jangan banyak tingkah, mukamu jelek, hati busuk pula”

Hatiku berdebar, aku tak dapat menahan diri. Tiba-tiba aku menjawab.
“Memang kak... aku memang jelek”
“Ya makanya...jangan banyak tingkah. Sudah-sudahlah Es.... kuceraikan kau bisa jadi sampah” katanya kasar.

Aku sudah tak dapat lagi menahan emosi.
“Sekarang kakak ngomong. Apa kesalahanku?”
“Kau gak tahu salah kau”
“Ya...!”
“Jahat hati! Mana mungkin umak bisa betah tinggal sama perempuan busuk seperti kau. Berbulan-bulan umakku tidak ditegur”,

Aku sakit sekali mendengar kalimat itu, semua yang aku lakukan, memandikan, menyisiri rambut, menceboki, menyuapi , meladeni, menyediakan masakan untuk umak itu selama hampir 3 bulan itu apa?? Kemana???

“Memang kak memang aku ini jahat, semua yang aku lakukan untuk umak selama ini tuh gak ada!”
“Emang gak ada yang kau lakukan terhadap umak. Bagiku lebih berarti Rom daripada isteri seperti kau”
“Iya...emang aku gak bisa 24 jam ngurus umak kakak. Aku kerja! Rom yang ngejagain dan ngurus umak. Tapi tahu gak kakak, siapa yang menggaji Rom??? Duit aku kak, Siapa yang berusaha menyediakan masakan buat umak aku kak”
“Taik kucing...masakanmu seperti taik kucing rasanya”
“Bener emang bener. Makanya aku selain masak, aku beli makanan jadi juga supaya umak senang. Asal kakak tahu uang gajiku bahkan tambahan uang dari mamaku mengalir seperti air selama umak disini. Kakak sendiri mana pernah ngasih uang belanja. Lalu masih kurang....???? Gak ada apa-apanya?? Mau gimana lagi aku melayani umak kau, supaya puasssss” teriakku sekencang-kencangnya.

Demi mendengar ucapanku dia menhentikan mobil sejenak dan menoleh kebelakang dengan tangan kirinya dia menampar aku yang duduk ditengah-tengah jok belakang. Belum puas dia meludahi mukaku. Aku menangis sekeras-kerasnya. Kejadian tersebut terjadi di belokan pelataran parkir kantor depan. Begitu dia menghentikan mobil untuk absen, aku segera turun sambil terus menangis berlari ke arah gerbang pejalan kaki sambil berusah menelpon adik laki-lakiku. Aku minta perlindungan. Tak kupedulikan semua mata memandang ke arahku.

Dia berusaha mengejarku dengan mobilnya. Dia turun dan berusaha menarik lenganku masuk kemobilnya. Aku menepis dan segera meloncat ke dalam angkot. Turun dari becak dan masih sambil menangis aku masuk ke rumah, mencari meja telpon. Mama setengah menangis menanyaiku. Dan mama menangis mendengarkan ceritaku. Kutelpon papa mengadukan segalanya. Papa sangat emosi mendengar penuturanku dan menyuruhku segera melaporkan kekerasan itu ke kantor polisi. Mengapa papa begitu emosi rupanya sudah sering mendengar kabar kalau kekerasan seperti itu sudah sering dilakukan dia terhadapku. Aku menuruti saran papa. Ditengah hujan aku berjalan, naik angkot dan becak berusaha mencari polsek terdekat. Aku melaporkan kejadian itu. Namun karena saat itu kasus KDRT belumlah menjadi kasus yang diprioritaskan maka tanpa aku ketahui kelanjutan kasus itu tidak pernah diusut.

Aku tidak pulang ke rumah malam itu. Meski akhirnya aku pulang ke rumah juga setelah dibujuk olehnya semua kulakukan demi Ardi dan Nabila.
 
Cukup lama aku bertahan dalam kondisi yang sangat menyakitkan hati. Terhitung sejak tanggal 10 Oktober 2004, aku tidak pernah disapa bahkan tidurpun dengan kamar terpisah. Aku sama sekali tidak mengetahui letak kesalahanku sama sekali. Hingga hari itu Minggu 27 Februari 2004, pagi-pagi sekali anak-anak masih terlelap, selesai mencuci pakaian aku sudah berangkat ke pasar Sako untuk belanja sayur dan lauk pauk. Ketika aku pulang anak-anak sudah bangun dan menonton TV. Kulihat dia masih berbaring di kamarnya. Aku meletakkan belanjaan lalu menyiapkan sarapan untuk Ardi dan Nabila. Hanya untuk Ardi dan Nabila. Entah dapat keberanian darimana sehingga pagi itu aku tidak punya keinginan sama sekali utnuk menyiapkan sarapan buat dia. Tadi ketika di pasar aku juga cuma membeli sayur dan ikan untuk Ardi dan Nabila (biasanya aku selalu memfokuskan mencari sayur dan ikan untuk dia, karena dia sangat memilih-milih makanan). Aku menyuapi Ardi dan Nabila, setelah itu memandikan dan mendandani mereka.

Berikutnya aku kembali membereskan semua barang belanjaanku. Memasak makanan persediaan seminggu, semuanya untuk Ardi dan Nabila. Ketika jam makan siang aku hanya menyediakan makanan untuk Ardi dan Nabila. Aku tidak lagi “bersaji” untuk dia. Selesai menyuapi anak-anak aku mencuci segala piring dan perlengkapan masak. Namun belum sempat menyapu dan membersihkan dapur Nabila sudah menangis minta diteteki sebagai pengantar tidur siangnya. Aku masuk kekamar menidurkan Nabila. Mungkin karena terlalu lelah akupun tertidur pulas.

Tiba-tiba aku kaget karena ada yang menendangku. Aku terbangun kulihat dia sudah ada didalam kamar dengan wajah yang beringas.
“Oiiii...dapur itu disapu dan dibersihkan. Enak aja...padahal kau tuh numpang disini. Ini rumahku” teriaknya kasar.

Aku terdiam. Kata-kata itu. Pengusiran dan pernyataan bahwa aku cuma seorang yang numpang di rumah ini sudah lebih dari ribuan kali aku terima dari mulutnya. Kata-kata dari seseorang yang berstatus sebagai suami. Pantaskah???? Aku diam saja, dan tidak menggubrisnya sama sekali. Malah aku melanjutkan merebahkan diri disamping anak-anak. Beruntung mereka tidak terbangun dengan kata-kata kasar papanya. Aku sudah berani menentang sekarang. Biasanya kalau dia sudah marah seperti itu aku langsung berlari menuruti perintahnya.

Bahkan saat sore hari aku bangun, memandikan anak-anak aku tidak berniat sama sekali menyapu atau membersihkan dapur yang kotor. Sore menjelang maghrib dimana suara lantunan bacaan ayat Al-Qur'an yang dikumandangkan masjid dekat rumah terdengar, ketika itu aku sedang memasukkan cucianku ke dalam mesin pengering, sambil lalu aku mendengar dia berbicara padaku. Aku berhenti sejenak menatap wajahnya yang seperti ingin bersiteru.

“Mulai besok pulanglah kau ke rumah bapakmu” ujarnya ketus.

Aku mendengar kalimat tersebut dengan jelas. Lututku gemetar. Tapi demi lebih menegaskan kalimat itu aku bertanya seolah-olah tidak mendengarnya.
“Apa kak???”
“Besok pulanglah kau ke rumah bapakmu. Aku sudah gak mau lagi denganmu”
“Ohh.....” balasku pendek dan datar, padahal aku ingin menangis.

Bukankah itu pernyataan talak dalam Islam. Aku diam dan kembali meneruskan cucian baju. Aku bahkan masih sempat menjemur baju. Sedangkan dia selesai mengucapkan kata-katanya langsung pergi dengan mobil. Kudengar mobilnya meraung-raung meninggalkan garasi yang basah dan penuh sabun karena dia baru saja mencuci mobil.

Malam itu aku sholat Maghrib penuh dengan air mata mengalir deras. Dalam doaku aku memohon pada Allah. Ya Allah...andai perceraian memang jalan terbaik bagi aku dan anak-anak berikan aku kekuatan dan keberanian untuk mengambil keputusan. Selesai sholat aku masih sempat membaca Al-Qur'an lebih dari satu maqro. Aku melipat mukenah, meletakkan Al-Qur'an di meja. Aku tak mengerti tiba-tiba ada kekuatan yang menggerakkan hatiku. Aku mengeluarkan kotak plastik besar beroda tempat menyimpan stock makanan kecil anak-anak, mengeluarkan isinya. Lalu aku membuka lemari pakaian. Aku mengambil pakaianku dan anak-anak. Secukupnya, aku hanya memasukkan seragam kantor dan seragam sekolah anak-anak.

Selesai mengemas pakaian, aku melangkah ke ruang keluarga. Menelpon papa. Pada papa aku menceritakan kejadian yang baru saja terjadi, dan meminta untuk dijemput. Masih kudengar nasehat papa untuk tetap bersabar dan memikirkannya kembali. Namun aku menjelaskan pada papa bahwa semua sudah tidak bisa ditawar kembali. Aku sudah pada titik final dalam evaluasiku. Akhirnya malam itu aku dijemput sekeluarga besarku. Sampai aku meninggalkan rumah, dia tidak menunjukkan batang hidungnya. Papa memanggil ketua RT, RW dan bik Harun sebagai saksi mengapa aku dijemput pulang, karena papa paham benar sifat buruk dia yang pandai memutar balik fakta. Malam itu aku pulang ke rumah papa diiringi tangisan anak-anak. Aku akan meninggalkan semua kepahitan di rumah tersebut. Rumah megah yang kami cuma berstatus numpang. Selamat tinggal kepahitan dan laki-laki penuh aniaya.

Proses hukum perceraian lumayan lama , akhirnya melalui persidangan di pengadilan agama tanggal 22 September 2004 palu hakim diketuk. Talak satu dan hak asuh terhadap anak-anak jatuh ke tanganku.

KEHIDUPAN PASCA PERCERAIAN
Diawal perceraian adalah masa-masa sulit yang aku lewati. Terlebih ketika masih dalam proses hukum keputusan perceraian tersebut. Sikap papa dan hampir sebagian besar keluarga yang sangat memojokkan serta menyalahkan aku. Tak jarang kudengar makian papa dan keluarga besarku terutama Arrie dan yuk Ros, semakin menyudutkan aku dan anak-anak. Status kami yang menumpang dirumah papa juga amat menyulitkan bagiku. Anak-anak yang sudah terbiasa hidup bebas dengan aturan dan tata cara kami sendiri harus menghadapi situasi sulit.

Papa adalah orang lama yang menerapkan disiplin dan aturan seperti caranya sebagai mantan ABRI. Belum lagi anak-anakku yang secara psikologis sudah tidak sehat. Anak-anak menjadi cengeng dan gampang ngamuk. Terutama Nabila hiperaktifnya semakin parah. Disaat dia stress dia akan ngamuk dan berteriak-teriak. Menangis sekeras-kerasnya. Papaku yang tidak terbiasa menghadapi anak seperti Nabila, menjadi marah-marah. Betapa tertekannya aku. Disaat Nabila ngamuk aku dengan sabarnya mencoba menenangkan dengan cara menggendongnya memakai seprai ranjang agar dia diam. Disaat memberontak tak jarang Nabila memukul mukaku, menjambak rambutku tapi sekuat tenaga aku berusaha terus menggendongnya dan mengunci pintu kamar agar dia tak keluar, karena khawatir papa akan memukul atau mencaci maki kami.

Suatu hari saat Nabila ngamuk dalam gendonganku dia menampar muka dan menjambak rambutku. Karena badan Nabila besar bahuku sakit sekali rasa mau putus, akhirnya karena tidak kuat aku menangis terisak. Melihat aku menangis , tiba-tiba Nabila berhenti ngamuk. Dia memegangi mukaku, dengan jari-jarinya mengelap air mataku.

“Mama gak boleh nangis ya” ujarnya lucu.

Aku berusaha tersenyum

“Mama gak nangis lagi kan” ujar Nabila lagi
“Iya dek, mama gak nangis. Tapi adek jangan ngamuk-ngamuk terus ya. Nanti kakek marah” bujukku.
“Adek sayang mama kan?” tanyaku
“Adek sayang mama” jawabnya
“Janji ya adek gak nakal lagi”
Janji” ujarnya polos sambil memelukku.

Sejak kejadian itu Nabila sudah jarang ngamuk-ngamuk lagi. Namun perilaku Nabila yang dalam kondisi stress dilampiaskannya di sekolah. Berulang kali dia ngamuk disekolah bahkan memukul temannya sampai akhirnya harus dikeluarkan dari sekolah. Nabila harus pindah beberapa kali dari TK. Beda dengan Ardi yang sejak dalam kandungan telah merasakan kondisi pelik sangat memahami situasi. Ardi lebih dapat beradaptasi dengan kondisi. Kasihan sekali anak-anak masih sangat kecil harus mengalami situasi begini.

Aku menyadari bahwa kondisi perceraian orang tua akan sangat berefek pada psikologis anak-anak. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meminimalisai efek tersebut. Karena anak-anak masih sangat kecil, Ardi berusia 3,5 tahun dan Nabila 2,5 tahun masih membutuhkan sosok papanya. Ketetapan hatiku memutuskan, meski kami bercerai, Ardi dan Nabila harus tetap sama dengan posisi anak-anak lain. Mereka masih tetap bisa memiliki mama papanya secara utuh. Untuk itulah aku tak pernah membatasi dia untuk menemui bahkan meminjam anak-anak. Bahkan disaat pembagian raport dan ulang tahun mereka kami tetap tampil dan hadir bersama seolah-olah tidak terjadi apa-apa antara kami.

Sikapku ini rupanya banyak menimbulkan kontroversi dimata semua orang terutama Papa. Papa sangat takut aku akan kembali ke dia. Kebersamaan kami menjadi gunjingan. Teman-teman menyangka kami akan rujuk bahkan masih saling cinta. Padahal semua itu tidak benar sama sekali, bagiku tidak ada rasa cinta apalagi niat untuk kembali padanya. Selama kebersamaan pasca perceraian dalam menemani moment penting anak-anak aku menilai, tidak ada yang berubah dari sifat dan sikap dia. Keegoisan dan sifat pelitnya.

Apabila makan bersama direstaurant, belum pernah aku melihat dia  berusaha mengeluarkan uang mentraktir kami. Selalu aku yang membayar. Pernah sekali aku yang meminta dia yang membayar, anak-anak memesan makanan dijatahi, bahkan aku hanya diberi minuman Aqua cup. Sungguh terlalu. Padahal dia sudah hidup sendiri dan hanya sekali-sekali memberikan makanan untuk anak-anak.

Namun selama kehidupan pasca perceraian ini lambat laun aku mulai membaca rencana Tuhan yang amat indah dalam kehidupanku. Banyak hal yang aku rasa menuju ke arah yang lebih baik. Dari sisi keuangan aku merasa keadaan finansialku semakin membaik. Kalau selama bersama dia tabunganku tidak pernah berisi, paling banyak 1 juta rupiah, itupun tidak akan bertahan lama. Setelah berpisah aku mulai bisa menabung. Bahkan 8 bulan pasca perceraian (bulan Oktober 2005) aku sudah bisa membeli mobil pribadi. Walaupun cuma suzuki Karimun. Dan bulan November 2006 aku bisa berangkat Haji.

Memang kekuasaan Allah itu tiada batas, mengingat Haji aku menangis dan bersyukur. Dia pernah berencana untuk memberangkatkan haji umak, meskipun umak sudah terhitung 3 kali pergi haji. Masih terngiang di telingaku ketika dia berbicara sinis kepadaku bahwa dia dan umak berencana berangkat haji, andai aku mau ikut silahkan membayar sendiri. Aku menangis didalam hati kala itu. Bagaimana aku dapat mengumpulkan uang untuk berangkat haji kalau uang yang kupunya dari gaji tak pernah cukup membiayai kehidupan sehari-hari kami? Bahkan sudah tak terhitung lagi berapa banyak pinjamanku pada mama yang dianggap lunas oleh mama. Aku cuma diam dan bertasbih kepada Allah. Namun Allah Maha Bijaksana sampai umak meninggal dan kinipun (1 minggu pasca kami diusir dari rumahnya, umak meninggal) dia dan umak tidak pernah jadi melaksanakan haji. Allahu Akbar, Subhanallah, Alhamdulillah...!


AKU YANG TERPIDANA
Setahun pasca berangkat haji bulan Juni 2006 aku bisa membeli sebuah rumah. Aku berharap dengan memiliki rumah sendiri Ardi dan Nabila dapat mempunyai privacy sendiri tanpa harus selalu ketakutan terhadap disiplin kakek. Tapi tanpa aku sadari dengan memiliki rumah sendiri ini adalah awal bencana yang tidak pernah aku bayangkan.

Setelah aku dan anak-anak memiliki rumah sendiri, kami mulai merasa lebih damai. Namun karena kami sudah tinggal di rumah sendiri tanpa pengawasan papa (papa orang yang paling ditakuti olehnya) membuat dia begitu bebas untuk mengunjungi dan bermain dengan Ardi dan Nabila. Dia bisa datang dan berkunjung kapan saja ke rumahku. Mau tidak mau aku menjadi pembicaraan di komplek perumahanku. Bahkan pernah saat dia baru keluar dari rumahku jam 9 malam, seorang satpam komplek mendatangi aku dan menanyakan status hubunganku dengan dia. Aku berusaha menjelaskannya pada satpam tersebut.

Sejak teguran satpam tersebut aku masih bisa menahan diri untuk tidak melarang dia datang ke rumah terlalu sering. Namun suatu ketika pagi Senin, ketika aku sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi, Nabila bangun dari tidur. Seperti biasa setiap bangun tidur Nabila pasti mencariku minta dipeluk, digendong beberapa menit, lalu aku membuka baju tidurnya dan menyuruhnya mandi. Dan aku terperanjat kaget melihat kelakuan Nabila yang berbuat kurang senonoh. Dia menggosok-gosok alat kelaminnya seraya berteriak-teriak “ gosok titit papa, gosok titit papa”

Bagai tersengat listrik aku segera mendekatinya dan melarang dia melakukan hal itu. Kucoba bertanya apa maksudnya melakukan itu. Nabila menjawab “adek gosok titit papa. Sesudah memakaikan baju Nabila, aku segera menelpon dia minta penjelasan mengapa Nabila melakukan itu karena hari Sabtu – Minggu Nabila menginap dirumah papanya. Tidak kudapatkan jawaban yang baik. Malah terjadi pertengkaran via telpon pagi itu antara kami. Belum puas sampai disitu pertengkaran kami dilanjutkan dengan pertengkaran sms.

Sejak kejadian tersebut aku menetapkan aturan, anak-anak tidak bolah lagi menginap dirumahnya. Boleh dipinjam atau dibawa kemana saja tetapi kalau malam harus pulang. Bayangkanlah aku seorang ibu melihat kelakuan anak balitaku perempuan seperti itu. Jelas aku sangat khawatir, karena aku sangat tahu siapa dia. Video porno memang sudah sejak masih bujang menjadi konsumsi rutin dia. Setelah menikah akulah yang sering sekali membakar secara diam-diam koleksi video porno dia. Aku bukan menuduh dia berbuat tidak senonoh pada anak-anak. Aku sangat khawatir secara tidak sengaja anak-anak sempat menonton video porno tersebut.

Mendengar peraturanku dia malah besar. Dia mengatakan aku gila. Sampai bersumpah mati disambar petir bila dia berbuat tidak senonoh pada Nabila. Memang dia tidak pernah bisa paham maksudku. Aku tidak pernah menuduh dia berbuat tidak senonoh pada Nabila, tapi perilaku buruknya gemar video porno akan memberi efek pada Ardi dan Nabila. Dari pertengkaran ini dia menyimpan dendam yang dalam terhadapku.

Kebebasan yang kuberi kepadanya untuk kontak dengan anak-anak seakan menjadi bumerang. Seakan ingin menebus kesalahannya dimasa lalu. Dulu saat anak-anak masih kecil dia tidak pernah care terhadap anak-anak, baginya kepentingan utama dalam hidup dia cuma umak, umak dan umak. Aku masih teringat dia membentak Ardi gara-gara Ardi mengambil makanan umak dan umak marah. “Hei...jangan macem-macem sama nyai ya. Gak ada artinya kau dibanding umak”. Terhadap anak kandung dia menghardik sedemikian rupa, kini dia  menuruti semua kemauan anak-anak tanpa batas, bahkan kadang-kadang terlalu berlebihan.

Contohnya terhadap Nabila, sebagai anak penderita autis asupan makanan yang dikonsumsi Nabila sangatlah ketat. Segala macam makanan berpengawet, coklat, gandum, manis harus benar-benar dikontrol asupannya. Bila tidak hiperaktifnya akan menjadi. Tapi dia tidak perduli dengan semua itu. Setiap hari pulang sekolah, aku ingin menangis ketika membuka tas sekolah Nabila yang penuh dengan snack, coklat, susu dan segala makanan yang jelas-jelas tidak boleh dikonsumsinya.

Terhadap Ardi, limpahan kemewahannya lain lagi, segala fasilitas internet, HP canggih, Play station sehingga membuatnya asyik dengan semua itu. Melupakan aturan tata tertib schedule yang kubuat. Lupa sholat, belajar, bahkan pernah suatu ketika Ardi sempat membantah melawanku dengan kata-kata kasar hanya karena kularang bermain game di HP saat sudah adzan Maghrib. Ketika aku coba mengkonfirmasi dengan dia bukannya sependapat denganku dia malah menjemput Ardi untuk pulang kerumahnya. Membela Ardi. Karena emosi dengan kata-kata kasar Ardi terhadapku (“ Oi...gilo!” ujar Ardi menantangku) aku menamparnya di depan dia.

Semua seperti buah simalakama. Tapi aku jalani dengan kesabaran. Sampai suatu hari naas terjadi. Aku masih ingat sekali hari itu Sabtu tanggal 20 April 2009, menjelang jam 12.15 aku menjemput Ardi dan Nabila pulang sekolah. Rumah masih sangat berantakan, hari Sabtu memang menjadi hari kesibukan luar biasa, karena hari itulah aku ke pasar, masak keperluan seminggu untuk stock. Didalam perjalanan semua terasa indah, anak-anak tertawa-tawa, bercanda dan bercerita kejadian di sekolah.

Setelah memarkir mobil di garasi, Ardi langsung ngeloyor masuk rumah, tak memperdulikan teriakanku tentang tas sekolahnya yang masih di mobil. Akhirnya aku yang membawa tasnya. Masuk kedalam rumah, meletakkan tas Ardi seperti biasa aku langsung memerintahkan anak-anak ganti baju, makan dan sholat. Kulihat Ardi tak mengindahkan ucapanku, dia naik ke lantai 2 kamarnya, kembali aku menegurnya.
“Kak ganti baju dulu nak, terus makan dan sholat. Kita kan mau anter dek Nabila terapi jam setengah tiga”
“Kakak gak makan ma, tadi jam istirahat sudah ditraktir papa” balasnya. Ada rasa kecewaku mendengar penuturan Ardi. Lagi-lagi mengacau pola makan anak-anak.
“ Ya kalau gitu, ganti baju dulu dan sholat”
“ Nanti aja ya ma, kakak mau main PS”, bantahnya. Mungkin dia sudah gak sabaran tuk main PS, karena Sabtu - Minggu sesuai aturanku memang dia bebas untuk main PS.
“ Kak kita kan mau anter adek setengah tiga. Nanti adek telat loh, kan rugi waktu terapinya cuma sejam”bujukku.
“ Ah.. kakak gak ikut anter adek. Kakak capek tadi habis olah raga”
“ Terus jam berapa kakak mau sholatnya “ ujarku bernegoisasi.
“ Jam dua”
“ Janji ya jam 2”
“ Iya ma “
“ Ya sudah” aku menyerah, dengan semangat Ardi naik ke atas.

Aku meneruskan merapikan dapur, mencuci piring, dan menyiapkan makan Nabila. Nabila memang anak patuh, kulihat dia sudah ganti baju sambil nonton TV. Namun tak lama berselang ketika aku masih sibuk mencuci piring, aku mendengar Ardi berteriak-teriak kesal sambil membanting sesuatu dengan keras. Hatiku berdetak, aku berteriak.
“ Ada apa kak” tanyaku
“ Ai dah... ai dah....” kudengar lagi teriakan Ardi tanpa menjawab pertanyaanku.
Aku mulai emosi. Kembali aku berteriak,
“ Sekarang kakak matikan PSnya, tutup pintu sampingnya , dan turun”
“ Ai dah... ai dah....” kembali dia berteriak.
“ Sekarang kakak turun! “ teriakku tegas sambil terus mencuci piring.

Tak lama aku melihat Ardi turun dengan wajah cemberut. Dia berdiri di anak tangga terakhir dengan wajah kesal. Tanganku masih basah dan penuh sabun. Melihat gayanya menentangku, aku cuma melap tanganku, lalu menghampiri dia.
“ Apa yang kakak banting?” tanyaku.
“ Stick PS tuh nah macet “ jawabnya masih dengan teriakan. Aku mencoba sangat untuk bersabar.
“ Oh gitu... hebat banget ya kakak. Masih kecil gini sudah berani banting-banting barang. Kakak tahu gak PS itu kan papa yang ngasih? Kalau rusak siapa yang disalahkan? Pasti mama!” ujarku mereda.

Kulihat Ardi menunduk mendengar ucapanku, tapi kulihat matanya masih menentang.

“ Kak, PS itu memang selalu jadi masalah di rumah ini. Gara-gara PS kakak suka lupa sholat, lupa belajar. Gara-gara PS mama dan kakak sering ribut. Daripada jadi masalah, mungkin sebaiknya PS itu mama kembalikan aja ke papa” ujarku kembali menyelesaikan cucian piring.
Demi mendengar omonganku, Ardi kembali berteriak-teriak.
“ Tidak....tidak.... Mama tuh jahat. Jahat.....”

Aku yang sudah mencoba bersabar, mendengar ucapan Ardi dengan wajahnya menantang dan memaki-maki aku, akhirnya terpancing emosi. Kembali kudekati dia yang mendongakkan muka menentangku.
“ Ngomong apa kakak” tanyaku.
“ Kau tuh jahat.....” ucap. Demi mendengar kata-kata “kau” yang diucapkannya, sama seperti ketika dia menantang saat kularang main HP saat adzan Maghrib, aku sudah benar-benar tak dapat mengendalikan diri. Sambil menangis dan meratap aku mencubit perut, lengan, dan pahanya. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah, aku terduduk di kursi ruang keluarga lemas sambil menangis.
“ Ya Allah, harus bagaimana lagi aku mendidik anak-anak ini “ ocehku meratap.

Melihat aku menangis Nabila yang sedang duduk didepan TV, berdiri memukul kakaknya marah, lalu segera memelukku. Melihat aku menangis Ardi juga mengahampiriku, seraya meminta maaf. Kembali aku berusaha berbicara dengannya.

“ Kakak tahu gak, karena kakak itu dengan mama, artinya mama yang bertanggung jawab sama kakak. Kenapa mama mengatur kakak gini gitu. Supaya kakak jadi anak baik. Kalau kakak rusak, semua orang bahkan papa pasti menyalahkan mama. Kalau kakak gak mau ikut aturan mama, ya kakak jangan tinggal sama mama“, ujarku sambil menangis.

Ardi memegang lenganku yang duduk sambil memeluk Nabila, meminta maaf berkali-kali. Akhirnya aku berdiri.
“ Ya sudahlah, sekarang kakak ganti baju dan sholat dzuhur” perintahku. Kali ini Ardi menurutinya.
Aku mengambil sepiring nasi dan lauk pauk. Meski cucian piring belum selesai kutinggalkan, aku menyuapi Nabila. Tak berapa lama Ardi muncul kembali, sudah berganti pakaian.
“ Sudah ma sholatnya” ujarnya.
“ Kakak duduk sini, makan biar dikit” ujarku. Dia mendekat. Aku menyuapi mereka, setelah makanan dipiring ludes aku meletakkan piring dan menyuruh Nabila mandi sendiri. Hari sudah menunjukkan jam 14.15. Bergegas aku menyelesaikan cucian piring dan kembali menyuruh Ardi mandi dan ganti baju untuk mengantar Nabila terapi Autis.
“ Kakak gak ikut anter adek ma” bantahnya lagi.
“ Memangnya kakak berani sendirian di rumah? Mama dan adek cukup lama loh perginya “ bujukku lagi.
“ Gak apa-apa. Kakek capek mau istirahat” elaknya lagi.

Akhirnya aku menyerah. Saat kutinggalkan pergi semua masih baik-baik saja. Ardi masih mencium tanganku, menutup pintu garasi bahkan memesan untuk dibawakan es krim Paddle Pop kalau kami pulang. Sebelum berangkat aku sempat memesan Ardi untuk mengerjakan soal-soal latihan Ujian Nasional sebanyak 15 soal. Dia menyanggupi.

Jam lima sore aku dan Nabila sampe di rumah. Setelah menutup pintu garasi kami beriringan masuk sambil berteriak memanggil Ardi,
“ Kak mama sudah pulang, ini nih Paddle Popnya”

Nabila juga berteriak menyerukan kalimat serupa. Tapi tak kudengar sahutan. Memang terasa aneh, karena kebiasaan anak-anak setiap mendengar suara mobilku datang pasti berlarian keluar membukakan pintu garasi, bahkan kadangkala Nabila dan Ardi berebutan untuk membuka pintu. Tapi ini meski dipanggil Ardi tidak juga muncul. Berulang-kali aku memanggil tak juga ada sahutan. Aku berpikir Ardi pasti tertidur karena kecapean. Kucoba menelpon HP nya, kudengar jawaban HP nya tidak aktif. Gak mungkin habis batere karena aku semalem men”charge” sampe penuh. Aku mulai khawatir, kuintip dari kaca jendela, didepan TV tak terlihat Ardi.

Aku masih terus berpikir positif, mungkin saja Ardi main bola dijemput oleh teman-temannya. Meskipun masih terasa aneh, kebiasaan Ardi selalu menelpon minta izin kalau hendak pergi saat aku tak ada di rumah. Lima belas menit akhirnya aku dan Nabila menunggu duduk di teras. Kaget aku secara tak sengaja menemukan kunci rumah di bawah karpet kecil depan pintu. Ah... benar kali Ardi pergi main bola di lapangan dekat kompleks pikirku. Kami masuk, Nabila segera menyimpan es krim pesanan Ardi dalam kulkas. Bergegas aku masuk dan masih berusaha mencari Ardi. Aku masuk ke kamarnya, kulihat di meja belajar buku latihan Ujian Nasional masih terbuka dan pena terletak di atasnya.

Tapi aku mulai curiga, setelah kulihat tas sekolah Ardi tidak ada. Aku tetap berpikir positif Ardi sedang main bola dilapangan. Suara pengajian menjelang adzan Maghrib terdengar dari pengeras suara masjid. Aku mulai sangat khawatir karena Ardi belum pulang. Aku berusaha menelpon satu persatu teman dekatnya, dan semua bilang tidak main dengan Ardi. Kembali aku menelpon semua keponakanku apakah mereka mengajak Ardi pergi. Jawabnya juga tidak.

Suara adzan Maghrib sudah berkumandang, meski dengan hati berdetak kencang , gemetaran aku sholat. Selesai sholat aku tiba-tiba berpikiran siapa tahu Ardi ikut papanya, bisa saja dia menelpon papanya untuk minta dibelikan stick PS baru. Aku segera menelpon papanya ,
“ Hallo. Assalamu'alaikum “, tak kudengar balasan dari sapaanku, akhirnya aku langsung saja bertanya pada inti.
“ Apa Ardi ada di tempat kakak”
“ Ada. Memangnya mau apa kau” sahutnya keras, dan kasar.
“ Oh gitu ya kak caranya “ balasku dengan sangat kecewa.
“ Iya .. mau apa kau??? Aku tidak menitipkan anakku untuk disiksa” balasnya dengan keras dan kasar.
“ Oh..., tapi harusnya kakak tanya dulu ke aku bagaimana ceritanya” jawabku kecewa.
“ Gak perlu...!”
“ Sekarang aku mohon ajak Ardi pulang kesini”
“ Tidak!!! Sampai matipun aku gak akan mulangin Ardi ke kau” tantangnya.
“ Ya sudah, sekarang mana Ardi, aku ingin ngomong dengannya”, aku ingin menangis. Selalu begini, anak-anak selalu dibela meskipun dia tak tahu duduk persoalan sebenarnya. Hatiku sangat perih mendengar ucapan Ardi di telpon. 
 
“ Kok kakak ada di rumah papa??” tanyaku
“ Kenapa? Mau apa Kau... Kau tuh jahat...jahat” air mataku mengalir mendengar kata-kata “KAU” yang diucapkan oleh anak umur 9 tahun terhadap seorang ibu yang bersusah payah mempertahankan dia hidup, bahkan sampai melahirkan dia ke dunia. 
 
“ Ya sudahlah. Kakak tinggal aja disitu. Nanti kakek dan Om Anda yang jemput kakak” balasku lemah dan putus asa. Handphone dimatikan. Aku terdiam dan menangis, Nabila memeluk dan mengusap air mataku. Seperti hilang akal aku menelpon papa, menceritakan apa yang terjadi. 
 
“ Biarin aja. Toh itu bapaknya. Biarlah dia mau tinggal sebulan, setahun disana. Kita lihat saja apa maunya” jawab papa di telpon.

Aku tertunduk lemah. Menangis. Malam itu aku tak bisa tidur nyenyak, meskipun ucapan papa sudah coba menenangkanku. Saat tahajud aku kembali menangis mengingat Ardi.
  
Pagi sebelum kekantor aku menyempatkan diri mampir ke sekolah Ardi. Melalui jendela kelas aku mengintip. Hatiku tercekat, Ardi tak ada ditempat duduknya. Berbagai perasaan berkecamuk didalam hatiku, kemanakah Ardi sehingga tidak masuk kelas. Hari itu aku berusaha menjalankan rutinitas kantor seperti biasa. Meski lelah menangis dan tidak tidur semalaman aku berusaha tetap seperti biasa, aku memang sangat pandai menyimpan segala peristiwa yang terjadi dihadapan teman kantor.

Sepulang rapat harian pabrik tiba-tiba aku menerima sms dari Maya rekan kantor satu unit kerja namun berlainan bagian. “Ayuk Esi, baik-baik saja kan?”. Pesan tersebut sangat singkat. Aku tidak terlalu berpikir jauh tentang makna sms tersebut. Dan kucoba membalas sms Maya, “Alhamdulillah, baik-baik aja May”. Cukup sampai segitu. Selanjutnya aku tetap menjalankan rutinitas kerja kembali.

Baru saja aku melangkah memasuki rumah, pulang istirahat kantor disaat itu papa menyodorkan harian daerah “Sriwijaya Post” kepadaku.
“Bacalah”, ujar papa singkat.

Aku membaca artikel yang ditunjukkan oleh papa. Hatiku berdetak kencang, bergemuruh dan dadaku terasa sangat sesak. Dalam artikel tersebut jelas terlihat foto Ardi dan papanya di kantor polisi. Rupanya Ardi dan papanya telah melaporkan aku ke Kepolisian dengan tuduhan melakukan tindakan penganiayaan terhadap anak. Aku tercekat, namun tak bisa menangis. Hatiku bertanya ' “sampai sebegitukah?”.

Papa memperhatikan tingkahku. Aku menjerit berujar pada papa.
“Ini jelas aku pa. Inisial nama ini namaku”
“Iya. Kau harus sabar. Dan kita tunggu saja apa yang terjadi selanjutnya. Kita lihat apa maunya” ujar papa menenangkan aku. Namun kulihat raut papa geram. 
 
Aku diam. Meski hatiku syok disaat pertama kali membaca koran tersebut. Aku tidak sedikitpun merasa gentar dengan tuduhan itu, karena aku merasa yakin tentang apa yang aku lakukan terhadap Ardi. Berkali-kali dalam hati aku beristighfar. Teringat kembali sms Maya, apakah ada kaitannya dengan berita di koran tersebut?

Siang harinya, ketika aku sudah kembali kekantor aku mencoba menelpon Maya. Dari penuturan Maya aku baru mengetahui bahwa berita tentang kasusku itu telah dimuat di seluruh harian daerah, bahkan di koran nasional Sindo. Rekan-rekan seunit kerja telah membaca dan mengetahui kasusku. Aku tersenyum pahit. Sore harinya aku mencoba bertandang ke kantor Maya untuk membaca berita tentang aku di beberapa koran dengan beberapa versi. Hatiku menangis.

Dengan perasaan hati yang remuk redam aku menunggu perkembangan kasusku selanjutnya. Semua benar-benar diluar dugaanku dan keluarga besarku. Dia tidak hanya menggugatku sampai disitu. Dia juga mengajukan gugatan pengalihan hak asuh anak. Tak tanggung-tanggung dia memakai jasa 5 orang pengacara. Seperti ingin membantaiku. Namun atas dukungan keluarga aku menjadi sangat kuat menghadapi sidang-sidang di dua pengadilan. Pengadilan Agama untuk pengalihan hak asuh anak, dan Pengadilan Negeri untuk tuduhan penganiayaan terhadap anak.

Tadinya aku masih berusaha untuk mempertahankan hak asuh terhadap Nabila, mengingat dia mengidap autisme dan hanya dekat padaku. Tetapi melihat dia  sudah seperti membabi buta melakukan tujuannya, keluarga menyarankan untuk menyerahkan saja kedua anakku. Aku menuruti.

Selama setahun lebih kasus tersebut bergulir, akhirnya keputusan pengadilan negeri turun juga. Hukuman percobaan selama 6 bulan. Aku tidak dapat menangis lagi. Yang ada kepasrahan kepada Allah, karena aku merasa dengan mengikhlaskan semua maka beban terasa ringan.

Tidak cukup sampai disitu dia mencoba menyiksaku. Aku sama sekali tidak boleh bertemu dengan anak-anak, bahkan untuk menelponpun tidak bisa sama sekali. Ardi dan Nabila dicuci otak agar membenciku. Aku menerima semua dengan ikhlas. Aku pasrah. Yaa Allah... kuserahkan anak-anakku di bawah naungan perlindungan kalimat Allah yang sempurna dari gangguan setan, marabahaya, dan dari pandangan yang penuh kedengkian.

Aku masih merasakan nyeri dan pedih bila mengingat Ardi berlari menghindar saat berpapasan denganku di depan sekolahnya. Aku yang telah mencoba menahan kepedihan akhirnya menangis tersedu-sedu melihat Wiwik teman kantor yang kala itu berjalan bersamaku menangis terisak-isak melihat kelakuan Ardi. Wiwik memelukku sambil berucap lirih.

“Sabar ya ayuk. Wik gak bisa ngebayangin perasaan ayuk. Dicuekin sama temen aja kita ngerasa sedih banget apalagi dicuekin anak kandung”

Aku tidak dapat berucap sepatah katapun, selain terus beristighfar dalam hati. Anakku, sudah besar kau sekarang, ganteng, dan sedemikian angkuhnya. Sakit sekali aku mengingat betapa sulitnya aku menghela nafas, berjalan dan duduk saat mengandung engkau. Sudah tak terhitung berapa kali aku pingsan di pasar, depan rumah, di kantor saat mengandungmu. Betapa aku menahan tangis kepedihan atas kekejaman papamu, tendangan, hardikan dan diseret hanya karena aku tak bisa menahan muntah saat mengandungmu. Semua kupertahankan karena aku ingin engkau hadir di dunia sebagai teman dan pelindungku.

Namun sesakit apapun yang aku rasakan, kasih ibu memang sepanjang jalan. Kasihku tak pernah pudar. Dalam setiap elahan nafas, duduk, berdiri, selesai sholat dan zikir malamku aku selalu berdoa, untuk kebahagiaan anak-anakku.

Yaa Allah.... lindungilah anak-anakku dari segala fitnah, baik yang nyata maupun tersembunyi, dan juga dari segala macam kejahatan. Yaa Allah ….. berilah mereka kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Yaa Allah.... tumbuhkan mereka dengan sebaik-baik pertumbuhan, dan jadikanlah mereka orang-orang yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk. Yaa Allah,..... akhirilah semua urusan mereka dengan keberhasilan dan selamatkanlah mereka dari kehinaan dunia dan akhirat. Yaa Allah selamatkanlah mereka, berilah kesehatan dan maafkan mereka, panjangkan umur mereka dalam ketaatan dan keridhoan-Mu, terimalah amal mereka, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Engkau-lah yang patut mengabulkan doa.


DENDAM MANTAN SUAMIKU
Dendam atau kekejaman atau apalah istilah yang pantas diberikan pada dia atas sikapnya terhadapku tidak hanya berhenti dengan memenjarakan, memisahkan anak-anak dan membunuh karakter diriku di depan anak-anak. Lebih dari semua itu ternyata dia benar-benar ingin membunuh karakterku di depan seluruh manusia di muka bumi ini.

Aku masih mengingat percakapan dengan pak Iwanto di perjalanan pulang kantor ketika kami bersama-sama menuju pelataran parkir. Nafasku hampir terhenti karena kaget mendengar penuturan pak Iwanto, beberapa waktu lalu dia yang sama sekali tidak beliau kenal menyapanya diparkiran motor area kantor pusat. Dia bercerita panjang lebar membeberkan semua keburukan diriku versinya.

Aku terpaku menarik nafas sekuatku, mengaliri rongga dadaku yang sesak dengan udara. Tanpa terasa mataku mulai merebak. Sampai masuk ke dalam jazzku kurasakan bulir-bulir panas membasahi pipiku. Sambil menekan stop kontak aku berdesis lirih' “Ternyata masih belum tuntas juga baginya untuk menyakitiku. Ya Allah..... aku tak mengerti apa yang dia kehendaki dariku”. Aku melajukan jazzku dengan hati perih.

Aku masih merasakan pedih yang dalam ketika, alunan “My Destiny, by Rain” di HP ku. Aku beranjak dan kubaca nama “Lina” pada display. Kutekan answer.
“Assalamu' alaikum mbak Esi”
“Alaikum salam Lina”

Lina adalah tetangga yang akrab dan sangat baik terhadapku. Rumahnya persis didepan rumahku.
“Iya Lin, ada apa nih?” timpalku lagi

Kudengar tawa Lina diseberang. Berbasa-basi sambil bercanda kami tertawa-tawa. Sampai kemudian aku kembali berhenti bernafas mendengar ucapan Lina. Lina bercerita tentang betapa kagetnya dia karena tiba-tiba mertua laki-lakinya datang ke rumahnya. “Akas” begitu panggilan Lina terhadap mertuanya, bertutur melarang Lina untuk bersahabat denganku. Maka akas berceritalah bahwa beliau bertemu dengan dia di pelataran parkir sekolah Nabila, pada saat itu akas juga sedang menunggui cucunya sekolah.

Akas menjelaskan kalau aku adalah wanita yang pernah dihukum 6 bulan penjara karena menganiaya anak. Aku adalah manusia kejam yang setiap hari menyiksa, memukul, mencubit anak-anakku. Dengan segala cerita buruk tentang aku. Lina merasa kaget dengan cerita akas. Kenapa sampai akas bisa langsung memvonis dan menghakimi aku. Dan Lina berusaha keras menetralisir pandangan akas. Lina sudah cukup lama mengenal hitam putih watakku. Lina sangat terkagum-kagumnya pada kehebatan dia bercerita sehingga membuat akas langsung mempercayai cerita itu seratus persen.

Aku mendengarkan cerita Lina dengan seksama, sambil terus berusaha menarik nafas panjang. Di akhir kalimatnya sebelum menutup telpon Lina masih terus menasehati aku untuk tidak menangis dan tidak memikirkan cerita akas dan dia. Lina sangat paham aku pasti menangis bila mendapatkan cerita yang selalu disebar luaskan olehnya.
“Oke mbak Esi, jangan sedih ya mbak. Cuekin aja, dasar mulut ember memang” pesan Lina
“Iya Lin, terima kasih” balasku susah dengan suara lemah menahan isak tangis yang hampir pecah
“Assalamu'alaikum”
“Alaikum salam”

Kututup HP ku, sejenak mataku menerawang dan tanpa kusadari aku menangis tersedu-sedu. Hatiku terasa amat sakit. Ya Allah.... apa yang tengah menimpaku ini. Apa salahku??? Ampuni aku ya Allah.. Aku sudah sangat lelah dengan episode cerita ini saja. Apa sebenarnya yang dia kehendaki. Kenapa tak pernah berhenti untuk menjelekkan dan memfitnah aku. Bukankah aku menggap episode ini telah usai. Bahkan buku telah kututup? Hatiku makin gamang, susah untuk mempercayai dan memahami.

Itu hanya sebagian cerita tentang fitnah dan cerita buruk yang disebarkan olehnya. Aku sudah lelah dengan semua itu.Bahkan kepada encim yang jualpepempek dikolam depan koperasipun dia membeberkan keburukan aku.  Meskipun tidak semua orang mempercayai ceritanya, namun beberapa orang sangat membenci aku. Ayuk Atun sebagi contohnya. Wanita sahabat karibnya itu sangat membenci aku. Dia membuang muka dan menatap dengan sinis bila berpapasan denganku. Aku pasrah. Yang tahu kebenaran itu hanya aku, dia dan Allah. Jadi tak pantas dia menghakimiku sedemikian rupa.

CAHAYA KEBENARAN MULAI TAMPAK

Pagi Sabtu aku bergegas membuka pintu garasi karena sudah hampir terlambat ke kantor. Tidak seperti biasanya Sabtu itu aku harus ngantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Baru saja pintu garasi ternganga, di seberang pagar Lina memanggilku. Aku mendekat, maka berceritalah Lina tentang pesan Nabila yang disampaikan lewat Karina anaknya. Nabila ingin bertemu dengan aku. Dia sangat rindu. Jantungku berdegup kencang, tanpa sengaja air mataku mengalir. Lina jadi ikut menangis.

Aku juga sangat rindu denganmu nak. Mama sangat rindu bahkan hampir bernanah air mata ini karena menahan pedih akan kerinduan padamu. Namun...bagaimana cara kita bertemu. Mama tidak mau lagi bersiteru dengan papamu yang tidak punya hati. Mama tak ingin terus-terus bersiteru dengannya.

Pagi itu ketika sampai di kantor berbagai perasaan berkecamuk. Aku duduk menghela nafas panjang, akhirnya ku memutuskan untuk menulis surat saja ke Nabila. Isi surat hanyalah beberapa patah kata yang menyatakan kerinduaanku, rasa sayang yang segunung buatnya serta pesan meskipun aku tidak menemuinya cinta mama tak pernah pudar. Selesai surat tersebut ku print aku duduk terdiam...memikirkan cara mengirimkan surat itu.

Lantas secara iseng aku menelpon Yuyun untk menitipkan surat buat Nabila. Tak kuduga dengan antusias Yuyun memaksaku untuk bertemu Nabila, bahkan sampai dijemputnya pula. Siang itu jam 9 akhirnya Allah mempertemukan kami. penuh linangan air mata, dekapan mesra. Aku orang yang paling bahagia kala itu. Semua karena Allah...karena Allah...

Banyak cerita yang dituturkan Nabila, yang membuat aku semakin yakin dia masih sangat, amat sayang ke aku. terima kasih ya Allah.... Aku yakin suatu saat dia akan kembali ke pelukanku.

Namun beberapa bulan setelah itu baru aku tahu, ternyata ada mata-mata dia yang mengadu aku menemui Nabila, sehingga ibu Fauziah guru BP yang mengizinkan aku bertemu Nabila dicaci maki olehnya. Memang berkali-kali Nabila menyatakan keinginannya bertemu, tapi aku tidak memenuhi keinginan itu. Aku hanya tidak ingin orang lain menjadi korban keganasan dia. Tapi aku selalu menunggu skenario Allah yang akan mengantarkan Nabila kepelukanku kembali selamanya sampai tak ada orang lain yang memisahkan kecuali Allah. Amin...ya rabb

Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam


Catatan :
Sebuah Autobiografi perjalanan kehidupanku. Tak percaya tapi nyata bahwa ada sesosok makhluk dengan kekejaman tanpa batas. Tapi aku bersyukur karena darinya aku belajar untuk sebuah kesabaran tanpa batas dari dari sikap ini insyaa Allah ridhoNYA akan kuraih. Terus bimbing aku ya Allah untuk bersabar sampai akan nyata kemana arahnya ending skenario tentang dia.

Monday, July 15, 2013

Dyari Cinta Yang Tak Biasa

       Semoga semua keluarga di Palembang sehat.         
       Salam u semua dan khusus u papa
       Wassalam
       Haikal


         Hatiku berdetak membaca sms tersebut. Haikal laki-laki tampan yang selalu kusimpan rapat-rapat dalam hati dan ingatanku. Sudah cukup lama kami tidak saling kontak. Terakhir kali, lebih kurang dua bulan lalu dia sempat menelponku, namun karena pada saat itu aku sedang sibuk menjaga papa di rumah sakit. Aku gak sempat mengangkatnya. Aku baru menyadari ada 3 miscalled dari bang Haikal saat hampir tengah malam.

       Maaf abang tadi Esi sedang sibuk di rumah sakit
       dan HP disimpan di tas. 
       Jadi gak kedengaran abang nelpon Esi. Ada apa ya bang?

Namun smsku tidak dibalas. Yah...sudah mungkin dia agak kecewa. Sejak “misscalled” nya itu baru kali ini dia berusaha menghubungiku melalui sms tersebut. Aku membalas smsnya.

       Alhamdulillah semua dalam keadaan sehat.
       Abang Haikal apa kabar?

Hanya dalam hitungan detik kuterima balasan sms darinya.

      Alhamdulillah. Waiyyakum

       Bang Haikal, seorang laki-laki keturunan Aceh, wajah tampan dan postur tubuhnya sangat mempesona. Dia anak angkat mama. Bang Haikal adalah rekan sejawat di perusahaan tempat adik kandungku Andri. Dalam perusahaan tersebut bang Haikal menjabat general manager HRD sedangkan Andri menjabat general manager Produksi. Posisi mereka sebagai pejabat dalam perusahaan tersebut tidak menjadikan mereka mitra yang sejalan. Kebijakan bang Haikal sebagai GM HRD terkadang sering bertentangan dengan kebutuhan Andri sebagai GM Produksi dan hal tersebut membuat mereka sering berdebat mempertahankan pendapat mereka masing-masing di rapat-rapat manajemen. Cerita itu kudapat dari mama.

       Suatu ketika mama sedang berlibur ke rumah Andri di Cilegon. Tanpa sengaja suatu hari ketika bang Haikal melihat mama sedang menata taman di rumah Andri, bang Haikal merasa amat tertarik dan terkesan sekali dengan sikap mama. Bang Haikal dan Andri tetangga sebelah rumah. Sejak saat itu selama mama di rumah Andri, bang Haikal menjadi sangat sering bersilaturahim ke rumah Andri. Sikap dan perilaku mama mengingatkan bang Haikal pada almarhum ibunya. Mirip seratus persen. Akhirnya bang Haikal meminta mama menjadi mama angkatnya. Dan bang Haikal benar-benar menganggap mama sebagai ibu kandungnya. Selang seminggu sekali abang selalu menelpon untuk menanyakan kabar mama, mengirimi mama bermacam-macam hadiah. Karena mamalah menjadikan bang Haikal dan Andri menjadi akrab.

        Pertama kali aku bertemu bang Haikal sekitar tahun 2004, saat itu abang sedang berkunjung ke rumah mama. Sore hari itu sepulang kerja aku dan suami menjemput Naufal dan Bella yang dititip di rumah mama selama kami kerja. Kami sempat ngobrol sebentar. Dan ketika hendak pulang sebelum aku sampai ke pintu pagar abang memanggilku. Abang menasehati aku agar rajin sholat, tahajud dan membaca Al-Quran. Aku tak memahami pesan abang, tapi dari pancaran wajah kudusnya aku menangkap kesan iba dia terhadapku.

       Pertemuan itu cuma singkat tanpa kesan mendalam. Aku bahkan telah melupakannya sama sekali. Rumah tanggaku akhirnya hancur berantakan. Perceraian yang sudah tak dapat dihindari, bahkan kasus perebutan anak dengan mantan suami yang begitu pelik membuat jalan hidupku penuh cobaan.

         Aku bertemu kembali dengan bang Haikal sekitar 7 bulan yang lalu, ketika mama sedang dirawat di rumah sakit. Disini aku bisa mengenal abang secara lebih dekat. Menjelang wafatnya mama sempat dirawat di rumah sakit selama seminggu. Dan selama seminggu itu aku menjadi amat dekat dengan abang. Giliranku menjaga mama adalah sepulang kantor jam 5 sore sampai hampir jam 10 malam. Sedang abang 24 jam tak pernah beringsut menjaga mama.

       Banyak hal-hal yang kami bicarakan selama menunggui mama. Tapi aku lebih banyak berfungsi sebagai pendengar semua nasehat abang. Abang memang seorang ulama (ustadz). Aku terpana ketika mendengar nasehat-nasehatnya, karena dari semua pembicaraannya aku menyimpulkan dia tahu persis kehidupan pribadiku. Aku tersenyum dalam hati. Dia selalu memonitor kehidupanku setiap kali menelpon mama. Pantes... mama selalu menyampaikan titipan salam abang buat aku setiap kali habis ditelpon abang. Aku menganggap hal tersebut cuma basa-basi saja. Bahkan pada saat aku menghadapi kasus perebutan anak-anak oleh mantan suami, dimana aku di meja hijaukan dengan tuduhan penganiayaan terhadap anak-anak, abang sempat menelpon mama. Abang menyampaikan pesan agar sabar, tabah dan jangan dilawan. Abang menasehati tak usahlah anak-anak diperebutkan, relakanlah diambil mantan suami. Sampai sebatas itu aku belum menganggap pesan abang sebagai sesuatu yang berarti.

       Kedekatan selama seminggu ini menumbuhkan perasaan kagumku pada abang. Pengetahuan agamanya sangat banyak, sopan santun, kelembutannya, semua menjadi kekaguman yang sangat dalam. Hari minggu 1 Juli 2013, tepat jam 08.10 WIB mama pulang kepangkuan Allah. Bang Haikal, Aldo adikku dan papa yang menemani mama sakaratul maut. Teringat nasehat dan bujukan abang ketika aku menangis dan nyaris pingsan ketika mengetahui mama telah meninggalkan aku.

       Aku terduduk lemas di lantai rumah sakit tepat di depan ruang ICCU tempat mama melepas ajal. Mama adalah tempat aku berbagi rasa, mengadu, meminta nasehat, pertolongan. Mama adalah orang yang paling menguatkanku sejak perceraian terlebih lagi setelah kehilangan kedua anakku. Aku menangis sambil menceracau , papa dan bang Haikal terduduk membujukku.

“Esi sudah gak punya lagi mama. Tempat mengadu dengan segala keluh kesah.” Ocehku terbata-bata sambil menangis keras.
“Esi... ! Esi dengerin abang” bujuk bang Haikal menyuruh aku menatap wajahnya.
“Esi gak boleh meratap... gak boleh nangis. Mama sudah bahagia... Mama sudah kembali ke Allah. Itulah saat yang paling membahagiakan mama”

       Aku mendongak menatap mata bang Haikal dengan air mata yang mengalir deras
“Iya abang... Esi ngerti. Tapi sekarang kemana lagi Esi bisa curhat... Mamalah yang paling ngerti Esi” bantahku sambil tetap menangis keras.
“Ada abang.... Esi bisa ngadu apa aja sama abang. Ayo bangun. Jangan buat mama sedih. Mama pasti sedih kalau Esi begini” tanpa menyentuhku sedikitpun dia menyuruhku bangkit.

       Perlahan aku berdiri dan bersandar didinding rumah sakit. Akhirnya papa mengusulkan aku untuk menunggu di rumah saja, seraya mempersiapkan keperluan penguburan mama karena tepat jam 10.00 WIB jenazah mama akan di bawa pulang ke rumah dan akan dimakamkan selepas sholat Ashar. Papa menyuruh Aldo yang mengantar aku, tapi dengan sigap bang Haikal bilang ke papa, sebaiknya dia saja yang mengantar aku pulang.

Aku menyerahkan kunci mobil ke abang. Beriringan kami berjalan menuju pelataran parkir.
“Mana mobil Esi ?” tanya bang Haikal ketika di pelataran parkir.
“Itu Jazz plat No. BG 351 SD” tunjukku.
“Esi tunggu disini aja biar abang muter dulu” ujarnya

Aku mengangguk lemah.

       Aku masih lemas, setelah semalaman tidak tidur sama sekali, karena sejak jam 8 malam mama sudah kritis, dan sudah 2 kali diresistusi. Kematian mama pagi ini membuat aku merasa hilang separuh nafasku. Di tengah perjalanan abang menghentikan mobil di mini market “Alfa Mart”. Aku ikut turun karena harus memilih handuk, sabun mandi dan beberapa perangkat peralatan memandikan mama. Tadinya aku gak kuat lagi untuk turun mobil. Abang yang membujukku untuk memilih warna handuk, sabun mandi apa yang mama suka katanya. Akhirnya aku turun.

       Aku kaget ketika hendak melakukan pembayaran di kasir abang sudah stand by dengan beberapa lembar uang ratusan ribu ditangannya. Juga kulihat dia membeli banyak snack dan minuman. Ketika aku hendak membayar dia langsung menggeleng-gelengkan kepala isyarat melarangku. Bagiku meski dia anak angkat mama tetaplah dia pihak ketiga. Inilah baktiku terakhir kali untuk mengurus seluruh keperluan mama. Tapi tatapan mata abang membuat aku mengalah. Abang membayar semua total belanjaan.

Sesampainya di dalam mobil abang membuka sepotong roti isi daging dan menyodorkannya padaku.
“Makanlah.... ! Abang lihat sudah beberapa hari Esi gak pernah makan” bujuk abang.

       Aku kaget, ternyata dia benar-benar memperhatikan aku. Benar sudah hampir seminggu ini aku sulit sekali untuk makan, nafsu makanku hilang. Bahkan sudah 3 hari sebelum mama meninggal aku benar-benar tidak meneguk apapun kecuali minum dan makan permen. Ternyata semua itu tak luput dari perhatian abang.

“Ayolah... Esi mesti jaga kondisi. Kalau Esi sakit, mama yang disana pasti sedih” ujarnya membujukku.

       Aku mengambil roti isi daging yang disodorkannya. Kugigit. Kulihat abang merasa lega, baru dia memasang sabuk pengaman dan menstarter mobil. Banyak nasehat yang abang berikan sepanjang perjalanan ke rumah mama. Diperjalanan sambil nyetir abang kembali menyodorkan Buavita jambu kepadaku. Aku terharu dengan sikap dan perhatian abang.

       Abang dengan setia selalu mendampingi aku disaat pemakaman mama, bisikannya tak pernah henti, mengingatkan aku untuk bersabar dan menyuruh aku untuk berdzikir, bershalawat, berdoa selama prosesi pemakaman mama. Selesai pemakaman mama, abang langsung menuju bandara untuk pulang ke Cilegon langsung dari lokasi perkuburan. Dia memeluk papa, Aldo dan Andri ketika berpamitan. Kemudian mendekatiku menangkupkan kedua telapak tangan di dadanya berpamitan. Kudengar lagi pesannya agar aku bersabar. Sampai perpisahan tersebut aku belum mempunyai perasaan lebih terhadap bang Haikal.

 *************

       Malam hari usai shalat Isya, kurebahkan tubuhku yang terasa amat lelah. Televisi di depanku menyala namun mata dan pikiranku menerawang. Kurasa bulir-bulir panas mengalir di pipiku. Entah sampai kapan air mata ini akan berhenti. Kesedihanku karena kehilangan mama belum juga pergi. Aku tak bisa untuk tidak menangis bila mengingat aku sudah tak punya mama lagi. Aku makin terisak. Kedengar allert sms masuk di ponselku. Kuseka air mata dan mengambil ponsel yang terletak di meja rias. Kubuka pesan singkat yang terpampang didisplay.

       Apa kabar keluarga di Palembang?
       Bagaimana kondisi Papa?
       Sudah kembali sehat? Salam untuk papa. Esi juga harus sehat .
       Salam
       Haikal

       Kupejamkan mata sejenak dan menarik nafas panjang. Tak terasa air mataku kembali membasahi pipi. Setiap mengenang mama pasti aku gak dapat menahan air mata. Kuseka air mataku lalu mulai membalas sms abang.


       Papa masih belum sehat bener abang.
       Entahlah rasanya tak bisa dilukiskan.
       Kesedihan atas kehilangan mama belum mau pergi, 
       tapi sekarang papa pula yang sakit. 
       Pengen nangis rasanya


       Tak berselang lama dari message delivery, kudengar ponselku berdering, kubaca nama “Bang Haikal” di display. Aku menekan answer pada ponselku.
“Assalamu'alaikum. Ya abang”
“Wa alaikum salam. Masih nangis Esi? “ tanya abang to the point.

Lama aku gak menjawab gurauan abang. Aku masih terisak. Mungkin terdengar isakanku oleh abang, karena kudengar tiba-tiba suara abang lembut kembali menyapa di telpon.
“Esi....”
“Ya bang...”
“Semua yang ada di dunia ini pasti ada akhirnya. Tidak mama, tidak papa, kita juga akan ada akhirnya” ujarnya.

Aku masih tetap diam tanpa menjawab.
“ Esi masih dengar abang??” tanyanya lagi
“ Masih bang...”
“ Ayolah Esi gak boleh sedih berlarut-larut. Esi gak boleh jadi rapuh begini, karena papa dan Evi butuh Esi”

         Aku tidak menjawab apa-apa. Yang kudengar nasehat panjang darinya. Bahwa aku harus terus menjaga dan mengurus papa. Mumpung papa masih ada. Karena mengurus papa dengan kesabaran merupakan ladang pahala yang sangat besar.


**********

        Dan begitulah hari demi hari kami mulai akrab walau cuma lewat sms ataupun sambungan telpon. Setiap beberapa hari berselang abang mengirimkan sms meski cuma untuk basa-basi menanyakan kabarku atau kabar papa. Aku merasa malu pada diriku sendiri karena dengan kedekatan kami aku merasakan getar-getar aneh yang tak dapat kubahasakan. Aku menyimpan sendiri getar-getar aneh itu. Aku takut berbagi tentang jalinan ini, karena memang tak wajar seorang yang sudah beristri rutin berkomunikasi dengan wanita single.

           Perjalanan hidupku dalam kesendirian selalu naik turun, namun aku berusaha sabar dan pasrah pada Allah. Sudah lebih sebulan ini aku dalam kondisi penuh tekanan. Renovasi rumahku progressnya berjalan agak lambat. Memang gak masalah sih karena toh aku membayar upah tukang secara borongan, jadi resiko dia kalau lambat atau cepat. Cuma terasa amat lelah banget dengan kondisi rumah yang cukup berantakan ini. Belum lagi segalanya aku pikirkan sendiri, mulai dari desain, mencari material bangunan dan kekhawatiran akan kekurangan biaya renovasi.

          Disisi lain fitnah dan omongan jelek tentang diriku yang disebarkan oleh mantan suami serta anak-anakku tak juga berhenti meski waktu sudah berjalan lama. Yang paling menyakiti selalu saja gosip itu sampai dan disampaikan orang lain ke telingaku. Harusnya aku pasrahkan saja semua pada Allah, namun sebagai manusia kadangkala aku sampai juga ke titik lemah.

           Aku berdiri dari tempat dudukku dan meletakkan Al-Quran diatas rak buku, dan bergegas menuju kamar. Aku menyeka air mata yang mengalir dipipiku, melipat mukenah dan menyampirkannya ke sisi ranjang. Rasa sesak didadaku menyeruak. Aku terpaku menarik nafas sekuatku, mengaliri rongga dadaku yang sesak dengan udara. Air mata makin deras mengalir. Seketika aku mengambil ponselku, dan berbaring di ranjang. Tiba-tiba aku ingat bang Haikal, aku ingin mengadu. Namun aku ragu, takut ada kesalahpahaman. Kuurungkan untuk menelpon,namun tanpa sadar tanganku terus menekan keybord di ponselku, akhirnya kukirim sebuah sms untuk melegakan diri.

         Boleh gak sih kita merasa capek dan lelah dalam hidup ini?

        Aku memejamkan mata untuk menepis rasa pedih yang menyeruak. Tak berselang lama aku mendengar ponselku berbunyi. Kubaca di display sms dari abang Haikal.

         Mana boleh, hidup dan mati itu hak Allah. 
         Tugas kita hanya menjalani saja. 
         Nanti abang telp,
         Salam
         Haikal

          Aku merasa ada perasaan lega didadaku. Kembali hatiku bergetar mengingat bang Haikal. Dia yang selalu penuh nasehat, perhatian dan siap siaga membantuku saat aku membutuhkan .

           Hampir jam sebelas malam, aku hampir saja terlelap ketika, alunan “My Destiny, by Rain” di ponselku. Aku terbangun,beranjak mengambil ponselku di meja rias dan kubaca nama “Bang Haikal” pada display. Oh..abang. Kutekan answer.

“Assalamu' alaikum Esi”
“Wa alaikum salam ”
“Belum tidur?” tanyanya
“Hampi tertidur” jawabku dengan suara serak dan lemah karena puas menangis tadi.
“Esi habis nangis ya....”selidiknya.

Aku tidak menjawab.
“Esi... abang mengerti, bahwa dalam kehidupan ini kadangkala kita merasa capek, lelah, hampa dan terluka. Jangankan Esi yang memang hidup sendiri, abang aja juga sering merasakan itu, seperti bosan ditempat kerja, ngerasa ingin berhenti kerja, itu lumrah. Tapi pada saat perasaan itu datang, harus kita kembalikan semua ke Allah”

Aku diam saja mendengar nasehatnya. Sudah menjadi ciri khas abang setiap menelpon pasti memberikan petuahnya.

“Kita sering gak menyadari bahwa Allah SWT tak pernah berhenti menyayangi kita. Dia gak pernah berhenti mendengarkan dan mengabulkan doa-doa kita. Allah dengan segala kesempurnaanNYA selalu memberikan yang terbaik untuk kita. Esi gak boleh berputus asa atau istilahnya capek dalam hidup, karena percayalah Allah akan selalu ada disamping kita” lanjutnya lagi.

Aku masih diam dan terpaku, mendengarkan suara abang. Air mataku mulai menetes kembali satu persatu di pipi. Ada rasa kagum, teduh dan merasa nyaman mendengar nasihatnya.
“Esi....” panggilnya
“Ya bang...”
“Masih dengerin abang ya”
“Masih bang”

Aku menyeka air mataku dan mencoba menyimak kembali suara abang.
“Makanya, Esi tuh harus cari kegiatan, jangan sendirian di rumah terus. Ikut pengajian atau apalah supaya Esi gak stress. Masalah anak-anak jangan lagi dipikirkan, percayalah suatu saat entah kapan mereka akan kembali dengan sendirinya. Yakinlah! "

"Untuk itu Esi amat yakin abang. Saat ini mereka memang masih bisa dicuci otaknya, tapi makin besar mereka akan bisa berpikir. Karena kenyataannya selama mereka bersama Esi, jiwa raga Esi khususkan buat kebaikan mereka"

"Baguslah kalau gitu. Meski gak bisa meraih pahala dari mengasuh dan mendidik anak, masih banyak ladang amal pahala yang bisa Esi dapat. Esi kan cukup mapan, jadi dengan kekayaan yang Esi miliki, jangan pernah malas untuk bersedekah. Keluarkan uang untuk membantu orang-orang yang gak mampu. Sangat besar pahalanya"

"Iya bang. Insya Allah"
"Dan sebaiknya Esi harus segera cari pendamping hidup lagi, menikah lagi. Karena seorang wanita gak baik hidup sendirian terus”

Deggg...jantungku berdegub kencang, aku merasa sangat sedih mendengar kata-kata abang. Dari tadi aku cuma diam saja mendengarkan abang, akhirnya aku harus menjawab.
“Abang, kalau soal menikah.... bukan Esi gak mau atau gak memikirkannya. Esi sangat berharap untuk itu. Bahkan setiap habis sholat, dalam tahajud, dan beberapa kali umroh doa agar segera diberikan pendamping hidup tak pernah berhenti Esi panjatkan. Esi juga sudah ngerasa capek dan gak sanggup rasanya hidup sendiri. Dan nyatanya sampai saat ini doa-doa itu belum juga dikabulkan“ jawabku setengah terisak.

“Iya... tapi mungkin Esi terlalu ketat seleksinya” selanya
“Abang, bagi Esi pernikahanku yang dulu jelas menjadi pengalaman berharga dan menjadi tolok ukur bagiku untuk mencari pendamping hidup lagi”

“Gak boleh gitu Esi! Kalau selalu begitu artinya Esi trauma pada masa lalu... Jelek buat diri Esi sendiri. Akhirnya sulit untuk ketemu ….” Jawabnya seolah menyalahkanku. Aku menyela dengan cepat.

“Tidak abang, Esi bukan trauma. Bayangkan kehidupan pernikahanku dulu penuh dengan siksaan baik lahir maupun psikis. Selama 6 tahun Esi menderita lahir batin karena siksaan laki-laki kejam dan gak bertanggung jawab. Jelas aku gak mau semua itu terulang”


“Nah itulah. Esi gak boleh selalu mikir begitu. Laki-laki tidak semuanya sama. Cobalah membuka hati”

“Esi ngerti bang. Bukan menutup hati. Semata-mata hanyalah kehati-hatian. Esi ngerasa kehati-hatian ini sangat banyak hikmahnya. Bagiku sendiri selalu berterima kasih pada Allah. Terus terang bukannya gak ada yang mendekati Esi. Banyak! Dan Esi sudah coba membuka hati. Tapi entahlah setelah mengetahui sifat dan tabiat mereka hatiku seakan menolaknya”

“Ya itu...tadi karena Esi trauma” sela bang Haikal ngotot
“Gak abang....! Esi merasa bersyukur, karena apa? Setelah laki-laki tersebut jadian dengan wanita lain, akhirnya kebuka bahwa keragu-raguan Esi dulu ternyata benar. Artinya apa bang? Allah masih melindungi Esi dari kesakitan seperti dulu. Jadi sekarang untuk masalah menikah lagi Esi pasrahkan saja. Kalau memang Allah sudah ngasih gak akan kemana” balasku menjelaskan.

“Abang kalau mau jujur, sebenarnya Esi itu sangat rapuh. Tapi karena kondisi dan fakta kehidupan ini Esi harus “survive” yah.. akhirnya Esi berusaha menjadi kuat dan mampu. Padahal...”ujarku lagi.

“Ya menurut abang Esi memang kuat kok. Makanya Allah memberikan cobaan itu buat Esi, karena dimata Allah Esi pasti mampu menghadapinya” balas abang. Aku diam saja mendengarnya.


“Terus terang Esi, abang sangat salut sama kamu. Esi tuh wanita hebat loh. Janda kaya yang hebat. Coba aja pikir.. gak setiap wanita mampu seperti Esi. Bangun rumah, punya kendaraan bagus, karir dikantor baik. Yang lebih salut lagi abang sama Esi adalah pergi umroh tiga kali. Sendirian lagi. Wah...luar biasa. Kalau istri abang mana berani dia pergi sendiri. Ke mall aja minta dianterin “ pujinya.

“Ya gaklah bang, istri abang kan tergantung pada abang karena ada abang. Coba kalau Esi punya suami pastilah minta anterin juga kesana-kemari. Karena sendirian kalau gak pergi sendiri ya gak..bisa nyampelah” elakku.

“Ya iyalah... maksud abang, Esi harus selalu bersyukur diberi kekuatan itu. Itu anugerah loh.... Pesen abang jangan pernah berhenti untuk bersyukur. Masih ingetkan doa agar kita selalu bersyukur yang abang ajarkan dulu? ”

“Masih abang yang baik hati. Insya Allah...bang, rasa syukur ini gak pernah putus dihati Esi” jawabku sedikit bercanda.

“Ya baguslah kalau gitu. Nah soal doa-doa minta jodoh yang belum dikabulkan Allah, mungkin ada hikmahnya. Bisa saja Esi berdoa minta jodoh, sedangkan papa, Evi dan seluruh keluarga didalam hati kecilnya masih mengharapkan Esi untuk dapat melindungi dan membantu mereka. Jadi doa Esi seorang kalah dengan doa orang banyak” ujarnya lagi. Aku berpikir sejenak.

“Mungkin juga ya bang, karena Esi ngerasa meski Esi wanita dan sendiri, setiap ada masalah misal papa sakit, Esi selalu jadi tumpuan setidaknya untuk nganterin kesana kemari atau cari obat buat papa kadang jam sebelas malem Esi masih keliaran nyari apotik, karena Esi satu-satunya yang bisa nyetir. Kak Ros aja meski punya suami, karena suaminya sibuk dikerjaannya, kalau ada apa-apa minta tolongnya ke Esi”


“Nah...itu! Jadi sabar dan pasrahkan saja sama Allah”
“Iya abang. Terima kasih untuk semuanya. Maaf selalu ngeganggu abang dengan keluhan yang gak penting”
“Sama-sama.Ya gak lah.... abang merasa seneng kok bisa saling menasehati. Apalagi untuk Esi. Menyenangkan lo mendengar suara Esi tuh. Apalagi pas agak serak-serak sehabis nangis” candanya.
“Yeeee...segitunya “ balasku
“Gimana sekarang sudah lega?”
“Alhamdulillah bang. Makasih ya...selalu bantuin Esi”
“Alhamdulillah. Sekarang tidur gih... entar kemaleman. Inget jangan lupa tahajud” ujarnya mengingatkan.

“Iya..insya Allah gak lupa tahajudnya”
“Oke bagus itu baru bener-bener adek abang yang cantik. Assalamu'alaikum”
“Wa alaikum salam “

        Aku meletakkan kembali ponselku di meja rias. Ada rasa tak biasa yang bergetar di dada. Dan itu selalu terjadi setiap abang menelponku. Ya Allah...Engkau yang memberikan rasa, tolong hamba untuk mampu mengendalikan rasa ini bila semua itu tidak baik untukku, abang dan keluarganya. Malam itu aku terlelap dengan rasa bahagia.

**********

        Jam dinding dikamarku menunjukkan pukul 8 tepat saat aku melipat mukenah selesai sholat Isya yang ditutup dengan sholat sunat Ba'da Isya. Aku menyalakan televisi dengan channel favoritku Trans 7. Perlahan aku menuju meja kerja, menyalakan laptopku. Sudah menjadi kebiasaanku selalu menuliskan perasaan melalui blog pribadiku. Hatiku sedang berbunga, setelah kemarin malam menerima telpon bang Haikal. Sejak kedekatanku dengan bang Haikal aku merasa ada yang berbeda pada diriku ada getaran, ada perasaan lain di hatiku. mungkinkah aku jatuh cinta padanya? Tapi apakah ini perasaan yang benar? Sudah lama rasa seperti ini tak pernah aku rasakan. Sejak kehancuran rumah tanggaku aku hampir mati rasa dan tidak pernah lagi bisa jatuh cinta pada seorang laki-lakipun.

      Baru saja aku menekan pasword untuk sign in pada blog pribadiku, kudengar alunan “My Destiny, by Rain” di ponselku. Aku mengambil ponselku kubaca nama Bang Haikal pada display. Hatiku berdetak, bang Haikal, ada apa ya? Bukankah baru kemarin malam dia berpanjang lebar menelponku. Kok malam ini nelpon kembali. Kutekan tombol answer.

“Assalamu'alaikum abang” sapaku
“Wa'alaikum salam “ balasnya

Aku terdiam dan gemetar. Jantungku berdetak cepat dan tak tahu mau berkata apa.
“Apa kabar Esi? Lagi Ngapain? "
"Alhamdulillah kabar baik, baru aja selesai Isya dan baru mau buka laptop eh ada telpon" gurauku
" Masih ngerjain kerjaan kantor???" tanya abang menyelidik
"Nggak...sedang buat blog. Biasalah nulis-nulis karangan"
"Wah hebat banget. Esi tuh pinter nulis juga ya?
"Sedikit abang"
"Satu lagi yang buat abang salut. Subhanallah"
"Baru tahu ya kalau Esi tuh hebat" selorohku.

Kudengar abang tergelak dengan selorohku
“Ayo, sombong. Gak boleh sombong"balasnya
"Cuma bercanda abang. Serius amat sih" ujarku membela diri
"Iya ngerti. Abang juga yakin orang kayak Esi gak mungkin sombong. Soalnya kalau dia mulai sombong pasti abang marahin" candanya menggoda.

 Kami tergelak bersama
"Gimana sekarang apa masih ngerasa capek untuk hidup” tanyanya bergurau.

Gantian aku yang tergelak mendengar gurauannya.
“Ih...abang bisa aja. Kan sudah dapat tausiyah dari abang kemaren malem. Jangan berputus asa dari rahmat Allah, dan jangan pernah ragu untuk bersandar kepadaNya. Dan jangan biarkan hati dan jiwa kering tanpa mengingatNya” jawabku mengulangi nasehatnya.

Kudengar abang tertawa dan berdecak-decak.

“Alhamdulillah. Berarti Esi orang yang bisa membuka hati, mau menerima nasehat. Biasanya orang yang mau mendengarkan orang lain itu orang yang punya hati cemerlang” pujinya.
“Waduhhhh... lagi-lagi menyanjung” balasku.
“Eh...abang serius memuji gitu, karena memang faktanya begitu”
“Cieeeee.....” elakku membuang rasa tersipuku.
“Ngomong-ngomong apa kabar papa” ucapnya memotong gurauanku.
“Alhamdulillah baik, sehat”
“Alhamdulillah. Kalau Esi apa kabar? Sehat?”
“Yeeeeee....lupa tadi kan sudah dijawab diawal telpon. Esi dalam keadaan sehat wal afiat” kembali aku bercanda.

     Kami tergelak bersama. Banyak yang kami bicarakan malam ini. Tentang pekerjaan, hadist, ayat-ayat Al-Qur'an sampai pernyataan kekaguman abang terhadap aku. Semua dalam nuansa ceria. Hingga akhirnya aku kaget dengan sebuah ucapannya yang membuat hatiku berhenti berdetak.

“Esi cukup lama abang menilai, mengamati tentang Esi. Bahkan sudah beristikharah berkali-kali abang mengambil kesimpulan " ujarnya serius.
"Istikharah???? Tentang Esi????" tanyaku gak mengerti.
"Iya" balasnya datar.
"Maksudnya????" tanyaku makin tak menentu
"Andai abang ingin menjadi seseorang yang dapat melindungi, menyayangi dan saling menasehati bersama Esi untuk meraih syurga Allah, gimana” ujar abang dengan nada serius.

Aku terdiam, tercekat dan seluruh tubuhku lemas seolah mau pingsan. Hatiku kelu dan air mataku mengalir tanpa terasa. Aku menangis tanpa sadar. Ucapan itu, bukankah itu sebuah lamaran untukku. Abang Haikal seorang laki-laki yang telah berhasil membuka hatiku yang terluka, yang selalu siap siaga menemani, menasehati aku disaat aku terbelenggu dalam masalah dan lara. Seorang laki-laki dengan segala predikat super, seorang ustadz, seorang yang punya posisi baik dipekerjaannya, seorang laki-laki yang benar-benar menjadi sosok idolaku. Seorang yang selalu menghadirkan kebahagiaan yang membuncah dihatiku setiap kali berbincang-bincang dengannya. Selama ini aku menyimpan kagum dan sejuta rasa yang kusimpan rapat-rapat untuknya.

      Entahlah kenapa pada dia...kenapa harus dia. Sungguh tidak mudah bagiku, karena cinta ini datang justru kepada seorang yang sudah menikah. Abang Haikal sudah beristri dan mempunyai empat orang anak. Aku masih menangis tersekat.

“Esi menangis??? Apa abang salah dengan ucapan abang? ujar abang mendengar isakku.
Aku tersentak, segera kuhentikan tangisku. Kuseka air mataku dengan punggung tanganku.
“Esi...” lirih suara abang kembali menyapa
“Ya bang...” jawabku lirih
“Esi tersinggung dengan ucapan abang?” tanyanya pelan
“Sama sekali tidak abang?”
“Lalu kenapa Esi menangis?”

Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengaliri rongga dadaku yang sesak dengan udara. Akhirnya setelah nafasku agak lega aku mencoba menjawab pertanyaan abang.
“Abang Esi terharu dengan ucapan abang. Esi sendiri kaget abang sampai ngomong begitu. Karena kalau mau jujur, selama ini. Selama kedekatan abang dengan Esi, sebenarnya Esi sangat mengagumi abang. Bagi Esi, abang adalah a shoulder to cry on” ucapku dengan menahan nafas.
Kutarik nafas panjang kembali untuk menumpahkan perasaan yang aku simpan selama ini.
“Sejak dekat dengan abang ketika kita menunggu mama di rumah sakit, Esi menyukai abang. Tapi.....” lanjutku lepas.
“Tapi apa?????” tanya abang penasaran
“ Esi  tak mau menerjemahkan perasaan itu sebagai suatu yang lebih, karena semua itu tak mungkin”
“Gak mungkin???? Kenapa gak mungkin” tukasnya ngotot.
“Esi inget mama yang selalu menasehati, agar jangan menjadi perusak rumah tangga orang lain. Esi juga punya prinsip gak mau dijadikan orang kedua. Esi gak mau menyakiti sesama wanita. Uni (panggilanku untuk istri abang karena dia berasal dari Minang) pasti akan merasa sakit bila dia diduakan” jawabku panjang lebar.
“Andai abang bisa meyakinkan uni dan uni sendiri mengijinkan abang untuk memiliki Esi bagaimana?” belanya.
"Gak mungkin"
"Kenapa Esi"
“Esi punya prinsip dalam hidup tidak mau menjadi orang yang kedua"
"Jadi maksudnya abang harus menceraikan uni gitu"
 "Esi gak mau juga abang menceraikan uni” tegasku
“Lalu abang harus bagaimana agar abang bisa bersama Esi"
“Ya itu prinsip hidupku. Akan ada jalan bila Allah memberinya” balasku pasrah.
“Ya Allah...” kudengar suaranya seperti mendesah.

Cukup lama kami saling berdiam diri. Sampai akhirnya kudengar suaranya di ponselku.

“Entah bagaimana mengungkapkan rasa kecewa ini, tapi semua kita kembalikan pada kekuasaan Allah. Abang tulus menyayangi Esi karena rasa ingin melindungi dan memang Esi pantas untuk dikagumi dan disukai. Alangkah bahagianya abang bila kita bisa bersatu. Tadinya abang kebayang bila Esi bersama abang, kita bisa sama-sama memberikan dakwah. Esi sangat cerdas dan gampang ingat apa saja kalimat-kalimat hadist atau Al Qur'an yang abang ceritakan. Ditambah lagi kepandaian Esi berbicara di depan umum, pasti abang bisa menelorkan Esi jadi pendakwah yang super. Jadi sayang abang pada Esi punya misi agar kita bisa bersama meraih syurganya Allah. Itu niat tulus abang, bukan karena nafsu”

Aku terhenyak, terdiam. Aku merasa terlalu naif dan khawatir semua perasaan abang hanya emosional dan bujukan hawa nafsu semata. Terlalu dzalim rasanya ketika aku harus menjadi orang ketiga diantara kehidupan rumah tangga uni dan abang. Terlalu egois jika aku nekad untuk menerima tawaran yang sepertinya indah ini padahal akan menyakiti hati sesama kaumku. Andai aku di posisi uni jelas akan sangat tersakiti. 

“Tapi abang mengerti dan berusaha memahami prinsip hidup Esi. Abang akan terus menyimpan kekaguman dan rasa sayang untuk Esi. Abang akan terus memohon pada Allah agar abang bisa hidup bersama Esi, mewujudkan cita-cita yang abang niatkan untuk Esi” ujarnya dengan nada kecewa.
“Amin...ya Rabb. Terima kasih abang, semoga Allah mendengar suara hati kita ya”
“Insya Allah. Okelah sudah larut malam, Esi jangan terlalu malam tidurnya inget pesan abang jangan lupa tahajud.”
“Ya abang...”
“Dan satu lagi pesen abang”
“Apa”
“Sebut nama abang dalam doa dipenghujung malammu ya” godanya.
“Amin...insya Allah” jawabku tersipu.
“Assalamu'alaikum”
“Wa alaikum salam”

    Aku menekan tombol merah di ponselku mengakhiri pembicaraan. Kuletakan ponsel di meja kerjaku. Sign out dari blog pribadi dan men”shutdown” laptopku. Aku berjalan lemah ke tempat tidur. Kurebahkan tubuhku. “Ya Allah...kenapa ini? Hamba tak paham yang terjadi. Kenapa Engkau berikan rasa ini? Harus apa dan bagaimakah aku? Bolehkah hamba menyimpan rasa cinta ini? Mengapa harus pada dia hatiku terpaut? Ya Allah...begitu banyak tanya dihati hamba, hamba tidak paham sedangkan Engkau pasti memahami. Tolonglah hamba ya Allah...dia sudah menikah. Apabila rasa ini hadir dariMu, bagaimana aku memantaskannya? Benarkah rasa ini datang dariMU dan bukan nafsu dariku? Bila semua ini datang dari ridhoMu..tolonglah hamba ya Allah jalan yang terbaik bagi kami. Air mataku mengalir lagi.

     Aku bangun dari pembaringan mengambil ponselku. Kutekan simbol media, memilih folder music. Kupilih lagu kesukaanku dari Afgan, aku menangis, syair lagu tersebut seakan selaras dengan yang aku rasakan. Dengan suara tersekat akupun mengikuti bernyanyi bait demi baitnya.

Andai engkau tahu betapa ku mencinta
Selalu menjadikanmu isi dalam doaku
Ku tahu tak mudah menjadi yang kau pinta
Ku pasrahkan hatiku, takdir kan menjawabnya


Jika aku bukan jalanmu

Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu


**********
To be continued
Cerita ini masih akan bersambung karena episode cinta ini merupakan episode nyata dalam hidupku.



Ikhtiar! Berjuanglah membebaskan diri.. Jika engkau sudah bebas karena ikhtiarmu itu, barulah dapat engkau tolong orang lain