Tuesday, August 2, 2016

KUNANTI CINTA DI SIMPUH SUJUD TAHAJUDKU


“Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin kerana kekurangan fizikal, tidak ada kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai harta dan penampilan wajah.) Yakinlah, wanita-wanita solehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, bersedekah dan berkongsi, berbuat baik dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari syurga. Dan khabar baik itu pastilah benar, bidadari syurga parasnya cantik luar biasa.”
Pagi menyapa ramah dengan kilau pancaran cahaya mentari. Akupun menyapa pagi ramah dengan senyumku. Terik sekali mentari pagi ini sehingga menyilaukan aku untuk dapat menyetir dengan baik. Maaf mentari bukan tidak meyukai cahayamu sehingga aku harus mengenakan sunglasses. Yah... ramahmu membuatku bersemangat pagi ini. Aku memarkirkan jazzku dibawah pohon yang paling rindang karena dimusim kemarau ini teriknya mentari membuat jazzku kepanasan, inilah beruntungnya datang pagi-pagi karena masih bisa memilih lokasi parkir terbaik.

Melangkah gontai aku menaiki tangga, menuju ruang kantorku yang terletak di lantai 2. Hmmm... ada perasaan galau sih sebenarnya memasuki ruang kerjaku. Aku baru 1 bulan dimutasi, eh bukan dimutasi juga sih sebenarnya tetapi dilempar ke unit kerja yang baru ini. Aku merasa tidak cocok dengan job baruku, tetapi apa boleh buat karena aku cuma karyawan biasa semua harus diikuti saja. Berusaha membetahkan diri dengan selalu berdo’a agar Allah selalu melindungi dan mengiringi langkahku. Karena Dia Maha Mengetahui apa saja yang terbaik buat aku.

Anyway... aku kembali duduk dikursi depan meja kerjaku. Dan seperti biasa kebiasaan rutinku pagi hari dikantor, aku mengeluarkan laptop dari lemari meja, memasang kabel dan perangkatnya lalu menghidupkannya. Setelah itu sebelum memulai bekerja aku melangkah ke musholla untuk mengerjakan sholat dhuha.”Hai anak Adam, tunaikanlah kewajibanmu untuk KU, yaitu sembahyang empat rakaat pada pagi hari, niscaya Aku akan mencukupi sepanjang harimu (Hadits Riwayat Imam Ahmad, Abu Ya’la).


Baru saja aku akan memulai takbir tiba-tiba di pintu mushollah aku melihat sesosok laki-laki berbadan tegap melangkah memasuki mushollah, aku hanya melirik selintas dan meluruskan pandanganku kembali mengangkat takbir memulai sholat dhuha. Setelah menyelesaikan empat rakaat aku mengangkat tangan dan berdo’a. Mengakhiri doa aku menangkupan tangan dan mengusapkannya ke muka. Do’a-do’a dhuhaku selalu meminta agar aku dapat diberikan kemurahan rezeki dan halal, juga aku memohon agar aku dicarikan tempat kerja yang barokah supaya aku bisa mengexplore seluruh kemampuanku untuk dapat diberikan pada perusahaan ini. Hanya Allah sebaik-baiknya pemilik tempat yang baik.

Segera aku melipat dan merapihkan mukenah, sajadahku, memasukkannya kedalam tas. Ketika aku beranjak meninggalkan mushollah kulirik laki-laki tegap itu masih khusuk sholat. Hmmm...lebih dari 4 rakaat.

**********

Pagi-pagi selanjutnya disaat dhuha aku selalu melihat laki-laki berpostur tegap itu juga melakukan dhuha di depanku. Awalnya biasa saja... Tetapi entah kenapa hatiku berbisik “laki-laki baik”. Akhirnya aku tahu identitas laki-laki berpostur tegap , namanya Teuku Ilham Pasha dan ternyata dia adalah rekan kerja di departemen yang sama namun berbeda bagian. Ini kuketahui ketika dia memposting tentang kajian fiqih di group whatsap. Subhanallah....dalam juga pengetahuan fiqihnya. Tiba-tiba aku beristighfar kok aku jadi selalu memperhatikan pemuda ini ya..? Astaghfirullahalaziiim ..... bersihkan hatimu, bisikku lirih pada diri sendiri. Ini namanya zina hati.

Memasuki bulan ketiga aku di unit kerja baru ini, disaat aku sudah melupakan pemuda tegap itu, pada suatu hari aku menangkap tatapan aneh dari kejauhan dari laki-laki tegap tersebut. Rupanya dia selalu memperhatikan aku di kejauhan karena ruang kantor dan tempat duduknya tepat didepan posisiku meski berseberangan lorong dan dilapisi kaca. Sikapnya juga aneh bila berpapasan atau bila harus berada dekat denganku pada saat rapat ataupun urusan pekerjaan. Aku menyadari dia selalu menatapku dengan ujung matanya meski menunduk ketika aku menyampaikan pendapat dalam rapat team evaluasi. Aku sangat menyadarinya... tapi aku terus berusaha pura-pura tidak tahu. Semua terasa aneh untukku karena terhadap sesama rekan kerja lain, yuk Sari misalnya dia bisa bercanda. Ahhhh... mungkin saja dia agak kaku denganku karena segan atau menghormati aku yang selalu menjaga hijab dengan sikap, tingkah laku dan jilbab panjangku. Aku menepis semua rasa yang kuanggap tidak biasa itu darinya.

Karena ada rasa yang berbeda itu aku mulai tertarik untuk mengamati laki-laki tegap itu. Dia laki-laki santri yang berasal dari Aceh dan masih sangat muda. Dari nomor identitas karyawan dia aku tahu bahwa dia baru 1 tahun lebih bekerja di perusahaan ini. Agak misterius dan kaku dalam pergaulan dan lebih suka menyendiri. Status WA atau Linenya juga selalu kata mutiara dalam Islam atau isi Hadist. Itu saja yang bisa aku kumpulkan informasi tentang dirinya. Selebihnya tidak. Untuk apa pula aku harus mencari data dirinya lebih lengkap, toh aku tidak ada kepentingan apapun pada dirinya.

Sejak perceraianku bahkan terlebih lagi setelah kasus perebutan anak yang dilakukan sang mantan secara keji, aku hidup dalam kesendirian. Beberapa laki-laki mendekat dan menyatakan cinta tidak pernah membuat hatiku tersentuh. Hatiku sudah membatu dan hambar tentang cinta seorang laki-laki. Kala ini aku sudah merasa berada dalam zona yang sangat nyaman dengan kesendirianku

******


Senja dan malam adalah teman terbaik bagiku. Aku selalu merasa damai dalam pelukan senja dan malam, terasa lenyap beban kemunafikan yang dihadirkan para pion catur di tempat kerja. Gelapnya malam selalu mampu membuatku semakin dekat kepada ilahi rabbi dalam sujud panjang dan doa berurai air mataku. Aku nyaman terlepas dari segala beban kemunafikan dunia.

Malam ini selepas isya’ dan membaca beberapa lembar ayat-ayat Al-Qur’an yang malam ini sampai di surat Al- Munafiqun . Aku sangat menyukai ayat ke 9 surat Al-Munafiqun , “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. Dengan ayat ini aku selalu ingat anak-anakku Ardi dan Nabila yang telah pergi direbut sang mantan dan tidak diperbolehkan bertemu sedetikpun.

Kuikhlaskan.... Mungkin saja ujian ini Allah sedang memperingatkan aku, karena dulu dalam hidup dan hatiku anak-anakku adalah nomor utama. Kadangkala karena mementingkan anak-anak, sholat wajib kulaksanakan hanya untuk menggugurlan kewajiban, berdo’a dan memohon pada Allah bahkan tidak sempat aku lakukan. Akhirnya Allah mengambil mereka dengan jalan kasus perebutan ini. Yah.... jika mau berpikir maka sesungguhnya akan ada hikmah yang dapat diambil dari sebuah ujian. Aku bersyukur ya Allah...!

Aku melipat mukenah dan seperti biasanya merebahkan tubuh di kasur sambil menatap layar TV. Baru saja aku merebahkan tubuh kudengar nada dering pesan masuk di WA dari handphoneku yang masih ada didalam tas. Aku membiarkan saja, malas sekali untuk membukanya. Tetapi tiba-tiba aku tergerak untuk segera mengambil handphoneku karena merasa sedikit trauma dengan kejadian sebulan yang lalu, papa meninggal tiba-tiba karena jatuh di kamar mandi. Ade menangis jengkel bercerita padaku ketika dia menelpon semua orang termasuk kakak-kakakku tak ada satupun yang mengangkat telpon, padahal Ade ingin mengabari bahwa “kakek” (papaku) jatuh dan akhirnya meninggal. Beruntungnya hanya akulah yang memberikan respon cepat mengangkat telpon. Ya sejak itu aku juga selalu merespon cepat jika ada sms atau telpon masuk.

Aku melangkah gontai membuka tas kerja yang terletak dilemari dekat TV. Kuambil HP, sambil melangkah kembali ke kasur aku membuka satu pesan masuk melalui whatsap. Subhanallah, Maashaa Allah, Allahu Akbar....teriakku terperanjat. Aku mengurungkan niatku untuk merebahkan diri kembali. Aku membaca pesan masuk itu berulang-ulang dengan mata membesar. Ya Allah… Astaghfirullah...desisku komat kamit.


“Aku berdo'a untuk seorang wanita yang nantinya akan menjadi bagian dalam hidupku. Seorang wanita yang sungguh-sungguh mencintai-Allah lebih dari apapun, sehingga ia bisa mencintaiku apa adanya. Seorang wanita yang akan meletakkan aku di posisi kedua di hatinya setelah Engkau Ya Allah... Bolehkah saya meminangmu dengan bismillah wahai wanita soleha”......


Berkali-kali aku beristighfar dan bertasbih. Apakah ini pesan nyasar atau apa? Ya Allah..... desisku gamang dan tidak percaya. Dadaku bergemuruh dengan penuh rasa tidak percaya. Subhanallah... Maashaa Allah.. Allah... Allah desis hatiku lirih. Teuku Ilham Pasha ..pemuda tegap yang hampir sebaya dengan Ardi anakku. Kalimat-kalimat yang ditulisnya dalam pesan ini. Bercanda? Meledek? Atau apa.... aku terus gamang dalam pertanyaan tak terjawab. Akhirnya aku menutup sliding HP dan meletakkannya di atas meja rias. Aku rebahkan diri...kuanggap semua itu hanya candaan menjelang tidur. Impossible!


************

Keesokan harinya ketika aku melakukan rutinitas pagiku, sholat dhuha di mushollah kantor aku tidak melihat Ilham melakukan dhuhanya seperti biasa. Tiba-tiba aku merasa ada perasaan aneh, seperti suatu kehilangan. Mungkin dia merasa malu bertemu denganku gara-gara sms “gila”nya semalam. Entahlah... aku menepis perasaan aneh dihatiku. Disaat aku baru saja hendak memulai takbir untuk sholatku yang kedua kalinya aku melihat dari kejauhan sosok Ilham baru datang ke arah mushollah, dia tertunduk. Aku menoleh sejenak dan kembali meluruskan pandanganku ke arah tempat sujud segera menghabiskan 4 rakaat sholat dhuhaku pagi ini. Kutinggalkan mushollah itu dengan rasa tak menentu. Kenapa pula aku mejadi gugup seperti ini? Seperti remaja yang bertemu dengan kekasih hatinya saja ...ahhhh.... Astaghfirullahaladziim.

Hari-hari berlalu, dan dalam hitungan lebih dari sebulan sejak menerima sms Ilham, aku terus menerus menerima sms yang sama dalam jam, menit dan detik yang sama setiap malam. Namun tidak tergerak sedikitpun niatku untuk membalasnya. Apapun bentuk responnya. Disetiap perjumpaan dengannya dikantor atau mushollah aku hanya menyaksikan dia tertunduk dalam tanpa berani mengangkat kepala apalagi melirik atau menatapku. Jujur kuakui sesungguhnya aku mulai memendam getar aneh dalam jantungku melihat keteguhan sikapnya.

Sekuat hati aku mengingkari suara hati, akupun berusaha untuk tidak menanggapi sms-sms darinya sebagai sesuatu yang serius. Aku merasa tidak pantas dan tidak layak untuk menerima pinangan dari dia. Rasanya terlalu mashgul untukku. Dia masih terlalu muda, dan masih sangat panjang perjalanan hidupnya ke depan. Kalau aku menebak usianyanya paling tinggi 25 - 26 tahun, sedangkan aku sudah hampir separuh baya. Aku hanya ingin menghabiskan sisa umurku dengan mendekatkan diri di jalan Allah saja. Sangat tidak adil untuknya berdampingan denganku. Aku tahu diri. Hingga suatu malam kembali aku menerima pesan whatsap darinya.

“Wahai wanita dalam diam, Hari-hariku dipenuhi dengan penantian panjang. Perasaan tak pasti ini seakan ingin menghempaskan aku dalam arah yang tak menentu. Disaat melihatmu pertama kali di mushollah itu aku terpukau. Kerudung panjangmu mempesonaku. Kau makhluk yang berani tampil beda sesuai syariat disaat jaman menampilkan wanita dengan keindahan busana sesuai trend. Hatiku bergetar. Gerak tubuh, ayun langkahmu, bahkan sikapmu tidak berjabat tangan dengan kaum pria membuat hatiku berani memutuskan, kau adalah sosok wanita yang kucari. Pada awalnya aku selalu berusaha menghindari dan membuang perasaan yang tiba-tiba hadir dihatiku. Tetapi aku sangat menderita karena setelah melihatmu untuk pertama kali aku merasa hidup tak sekadar air mengalir. Karena sejak itu aku mulai menyemai harapan tentang impian masa depan mencintai seorang wanita dalam suatu biduk penuh cinta”

Aku terduduk lemas membaca pesan itu. Sangat sulit membahasakan perasaan yang berkecamuk dalam dadaku. Tidak bisa aku bahasakan secara rinci. Wahai malam ... bantu aku bernafas, sesak rasanya dada ini karena terkesima. Mimpi ? Atau sekedar leluconkah? Seorang pemuda berusia 26 tahun begitu memuja dan mengagumi wanita separuh baya yang pantas menjadi ibunya. Sungguh tidak masuk akal. Aku diam. Setelah perasaanku tenang aku membuka kembali HP dan membuka pesan WA dari Ilham, Kutekan reply, sekuat hati aku mencoba menuliskan kata-kata santun untuk tidak membuatnya tersinggung.

Anakku Teuku Ilham Pasha,
“Jangan bicara tentang cinta pada burung sebelum kau yakin tumbuh sayap yang menerbangkan hasratmu pada cintaNYA”

Kukutip kalimat-kalimat indah yang pernah di tulis dalam sebuah cerpen cinta karya Asma Nadia. Berulang kali kubaca. Kumaknai dalam-dalam, aku hanya tak ingin membuatnya tersinggung. Lalu setelah yakin aku menekan send. Lega rasanya, kuletakkan kembali Hpku di meja rias aku mematikan lampu dan merebahkan diri di pembaringan. Baru saja mataku hendak terpejam setelah lafaz dzikirku terhenti, kudengar lagi nada dering pesan masuk. Aku tersentak dan bangkit mengambil HP karena yakin itu pasti balasan dari Ilham.

“Wanita soleha,
Cinta adalah anugrah dan rahasia-Nya. Siapa yang mampu memilih dan memutuskan kapan cinta itu akan datang. Namun Allah jualah memberikan jalan itu. Cinta yang hadir dan bersemayam tiba-tiba didalam hati, yang enggan pergi meski diusir dan ditepiskan itupun sebagai anugerah Allah. Aku punya keyakinan yang penuh bahwa sayapku cukup kuat untuk membawamu terbang dan berlabuh dalam ridho dan kasih sayang ilahi. Izinkan aku berada disampingmu menjalani hari-hari dalam jalanNYA”

Aku menghela nafas, tak terasa mataku berair. Aku menangis. Ya Allah... ini anugerahkah? Apa ini ya Allah... ampuni aku yang ragu pada anugerahMU. Aku selama ini sangat terpuruk dan hampir tidak percaya ada laki-laki baik di duniaku. Kekejaman dan cacian lelaki masa laluku membuat aku sangat merendahkan diriku. Aku sudah terlalu dalam menghakimi diri sendiri, percaya diriku hilang. Dan seorang lelaki muda yang punya kehidupan begitu baik, masa depan yang masih sangat indah dan panjang menginginkan aku wanita tua dan yang sangat terpuruk. Pantaskah. Aku mengusap air mataku yang berjatuhan dengan punggung tangan.

“Ilham,
Cinta memang anugerah, tetapi cobalah berpikir tentang kata-kata pantas atau tidak pantas. Semua yang ananda ucapkan terasa mashgul bagiku. Rasanya sangat tidak pantas bagi wanita separuh baya sepertiku akan sanggup menerimamu yang punya harapan dan masa depan yang masih sangat panjang dan jauh lebih baik. Sangat mustahil.... jangan mengharapkan aku lebih. Tetapi anggaplah aku sebagai ibu saja. Mohonlah petunjuk pada Allah agar ananda memutuskan dengan pilihan yang tepat, kendalikan emosimu dalam cinta. Cinta itu seperti berjalan di lorong waktu karena ketika kau sudah memutuskan memilih maka tidak mungkin lagi untuk menekan reply atau kembali.

Aku menjawab dengan lebih tegas lagi. Kudongakkan kepala agar air mataku tak luruh lagi dan kupandangi langit-langit kamar. Banyak berlintasan peristiwa silam dalam ingatanku, tentang kejamnya mantan suami, tentang Ardi dan Nabila yang telah direnggut paksa dariku, bukankah itu semua akan menjadi lembaran yang sulit bagi Ilham kelak. Dia belum mengenal siapa aku dan masa laluku. Aku masih duduk di sisi ranjang menunggu balasan darinya. Benar saja tak berapa lama aku kembali menerima pesan masuk.

“Wahai wanita soleha,
Betapa santun engkau menakar dirimu. Merendah sedalam samudera dan meninggikan aku setinggi langit. Padahal bagiku engkau sangat indah.... Apa katamu ? MUSTAHIL? Bukankah kemustahilan itu bersumber dari Allah yang menciptakan dan memiliki skenario? Tidak ada kata mustahil dipandangan Allah, bila DIA menghendaki hanya berkata jadi maka semua akan terjadi. Mungkin pengetahuanku tak seberapa dibading denganmu wanita soleha. Dan semua keputusan telah kusandarkan pada jawaban dariNYA atas doa-doaku.”

Aku kembali menghela nafas dan menekan reply,

“Ilham,
Pandangan pertama dan apa yang kau ketahui tentang aku hanyalah yang tampak dipermukaan saja, yang kau anggap semuanya indah. Tetapi cobalah menggali lebih dalam lagi tentang aku dan masa laluku, niscaya kau tak mungkin membuat keputusan senaif itu.”

Aku semakin menghindari untuk memberikan harapan dalam pesan-pesanku.

“Wanita soleha,
Sedalam itukah kau terpuruk, sehingga begitu mengecilkan daya kekuatanmu yang luar biasa? Masa lalu adalah bagian kehidupan yang harus dijalani tetapi tidak untuk membuat kita terpuruk dan terpaku. Semua pelajarannya diambil dan kembalilah menatap masa depan. Aku berkali-kali bilang keputusanku adalah jawaban dari doa-doa yang kusandarkan pada Allah. Aku menyadari bahwa jalan yang akan kulalui dalam biduk rumah tangga bukanlah jalan yang bertabur bunga, tetapi insya Allah akan bisa kulalui bersamamu, karena kau wanita soleha yang sungguh-sungguh mencintai-Allah lebih dari apapun, jika Allah kau tempatkan dalam urutan pertama dalam hidup pertolongannya akan selalu sedia dikala kita butuh. Izinkan aku mendampingimu berjalan di jalanNYA”

Malam semakin pekat, aku membiarkan saja pesan terakhir dari Ilham. Tak sanggup untuk membalasnya. Aku berbaring..... lelah.

**************

Layaknya rezeki, jodoh kadang datang dengan cara yang tidak disangka-sangka dan tidak bisa diterka. Kamu bisa melihat orang-orang disekitarmu apakah itu orang tua, kakak, tetangga, teman atau siapapun lihat bagaimana Allah mempertemukan mereka dengan pasangannya. Ada yang lucu, unik, menggemaskan dan meskipun ada juga yang menyedihkan. Banyak cara untuk bertemu dengan jodoh, namun pastikan itu cara-cara yang Allah ridhoi.

Lalu bagaimana Allah mempertemukan kamu dengan dia jodohmu kelak?, tidak perlu dihiraukan dan dirisaukan karena Allah tentu sudah menyiapkan cara terbaik pertemuanmu dengan jodohmu kelak. Tapi perlu diingat Allah hanya akan mempertemukanmu dengan orang-orang yang “tepat” sepertimu dengan kata lain adalah cerminan dirimu. Jadi jika ingin mendapatkan jodoh terbaik, shaleh, taat, takwa ya pastikan terlebih diri pribadi kamu juga shaleh, taat dan bertakwa.

Aku menyimak dengan seksama ceramah ustad Hidayatullah yang membahas masalah jodoh. Pikiranku menerawang pada sosok laki-laki tegap itu, Teuku Ilham Pasha. Diakah jodoh yang ditakdirkan Allah untukku? Aku tersentak dari lamunanku “impossible” desisku lirih didalam hati.

Dunia dan seisinya ini kepunyaan Allah, pun masalah maut, jodoh dan rezeki Allah pulalah yang mengaturnya. Pernikahan adalah ibadah, dan setiap ibadah bermuara pada cintaNYA sebagai tujuan. Sudah sepatutnya setiap upaya meraih cintaNya harus dilakukan dengan suka cita. Tanpa merampas hak-hak dari orang lain yang seharusnya mendapatkan sisi kehidupan yang lebih layak.

Hanya kalimat-kalimat itulah yang selalu aku kukuhkan dalam hati. Meski terasa sakit karena mengingkari suara hati nurani. Cinta yang memang kodrati itu sebenarnya mulai bersemi didalam hati yang pernah terluka. Timbunan kekaguman untuk laki-laki berpostur tegap itu tak dapat disimpan rapih untuk kemudian disingkirkan. Aku sadar sebagai seorang wanita aku tak pantas hidup seorang diri, meski aku sudah merasa di zona nyaman. Selama 11 tahun aku merasa sudah sangat kuat untuk dapat menjalani kehidupan dengan mengambil alih semua porsi tugas dan tanggung jawab laki-laki.

Bagiku sudah sangat biasa berdiri seorang diri diantara ekosistem laki-laki. Saat aku di bengkel mobil untuk service dan pemeriksaan berkala, saat aku antri mengurus pajak dan balik nama kendaraan, saat aku berada di toko bahan bangunan membeli pasir, batu bata, semen, besi behel ketika aku membangun dan renovasi rumah. Aku sudah biasa menanggapi ungkapan keheranan manusia disekitarku disaat aku membeli bahan bangunan “kenapa gak suaminya aja bu yang beli”. Semua sudah biasa. Tetapi jujur aku akui bahwa didalam lubuk hati aku butuh tangan kokoh yang menggandeng aku disaat aku terjatuh dan lelah, aku butuh bahu kekar untuk aku bersandar dan merebahkan kepala disaat aku sedih, aku butuh pelukan disaat aku gamang dan galau. Karena aku hanyalah seorang wanita biasa....yang kodratnya adalah dilindungi.

Hujan di penghujung malam itu menyisakan gemuruh yang bergantian dengan lajunya air mataku. Akupun terdiam, air mataku terus jatuh dipipiku. Mengapa aku begitu sombong dan angkuh. Selama kurun waktu 11 tahun itu, bergantian lelaki mendekati menyatakan keinginan untuk mendampingi hidupku. Aku terus menolak. Aku merasa tidak membutuhkan laki-laki dalam kehidupanku. Trauma masa lalu begitu membelenggu. Pada awalnya aku bermimpi sosok suami adalah teman dalam kehidupan dan pelindung bagiku, yang menyediakan tangan kokohnya untuk aku berpegangan agar aku tidak terjatuh, menyediakan bahunya untuk aku bersandar disaat aku lelah, melantunkan tutur katanya yang lembut untuk menguatkan aku disaat aku kehilangan harapan.

Pada kenyataannya aku hanyalah memiliki sosok suami yang demikian gampang menghardik dengan kata-kata kasar bukan hanya untuk diriku sendiri bahkan cacian untuk mama, papa, keluargaku disaat kemauannya tidak dapat kupenuhi, yang mengancam untuk menceraikan aku setiap saat dikala dia emosi. Seorang suami yang tidak pernah menafkahi isteri dan anak secara materi, seorang suami yang justru memeras dan menadahkan tangan untuk meminta uang bonus, insentif, yang mencurigai uang gajiku habis untuk hal-hal yang tidak dia izinkan seperti memberi orang tuaku padahal dia tak pernah memberikan uang padaku sepeserpun. Bagi dia uangku uangnya, uangnya adalah uangnya. Sosok laki-laki yang demikian keji mengajukan aku ke polisi dan sidang pengadilan dengan vonis 6 bulan masa percobaan karena aku memarahi anak yang merusak barang pemberiannya? Yang mengajukan tuntutan perebutan hak asuh anak dan memisahkan tali silahturahim ibu dan anak. Sama sekali akses berjumpa itu “close”. Sosok laki-laki dengan mulutnya menebar cerita keburukan-keburukanku disana-sini. Ya Allah.... mimpi itu buruk sekali.

Aku menangis tersedu. Kelebatan kisah masa lalu itu terus bermunculan meski sudah 11 tahun berlalu. Aku sendiri lelah..... Nafasku tersengal dengan kepedihan yang dalam. Aku tersadar dan beristighfar. Astaghfirullahal adziim. Aku mengusap air mataku. Aku kembali teringat tausiyah Aa Gym beberapa minggu lalu di dalam forum komunikasi karyawan di kantorku.

“Sungguh keresahan dan kegalauan hati itu hanya karena hati dan jiwa kita tidak tenang. Kegalauan, sakit hati, kecewa terjadi karena kita belum menjadi makhluk yang ikhlas. Apa arti keikhlasan, yaitu semata-mata meyerahkan urusan dunia ini hanya kepada Allah. Mengapa kita berharap kepada manusia padahal manusia adalah makhluk yang lemah? Sesungguhnya berharap dan takut kepada makhluk itu yang membuat kita gelisah. Semakin kita berharap terhadap makhluk, maka kian tidak tenang hidup ini.Apabila engkau ingin dibukakan oleh Allah pintu harapan, maka perhatikan kebesaran nikmat-nikmat dan rahmat Allah yang melimpah kepadamu. Dan bila engkau ingin dibukakan bagimu pintu takut, maka perhatikan amal perbuatanmu terhadap Allah.”

Astaghfirullah...astaghfirullah. Ampuni aku ya Allah yang ingkar dengan rahmatMu yang berlimpah kepadaku. Kecukupan material, keleluasaan waktu, keleluasaan gerak. Kurang apalagi. Ya Allah aku ingin pentunjukMU tentang pasangan hidup yang layak bagiku. Berilah aku kelapangan dada dan pikiran untuk memandang dari sisi yang KAU ridhoi. Malam berlalu dengan sepi...hujan semakin deras akhirnya ku merbahkan diri segera agar bisa bangun di seperti malamnya. Memohon ridho dan petinjuk agar jalan hidupku terus didalam jalan kebaikan.

*******

Hari terus berganti tak terasa sudah memasuki bulan ke-6 aku di unit kerja ini. Banyak tantangan dan rasa tidak berarti bagiku di tempat ini, tetapi aku terus membangun keikhlasan diri untuk membangun keyakinan bahwa Allah pasti punya rencana memindahkan aku di tempat ini. Pagi ini cuaca cukup cerah, aku melewati rutinitas pagi hariku, melangkahkan kaki menuju mushollah dilantai bawah. Kuakhiri dhuhaku pagi ini dengan do’a dan menangkupkan tangan kemuka pertanda selesai berdo’a. Laki-laki tegap itu masih menyelesaikan dhuhanya dishaf terdepan. Aku membuka dan melipat mukenah. Selesai memasukkannya ke dalam tas aku segera berdiri menuju pintu keluar mushollah. Baru saja aku akan memasukkan kaki kanan ke dalam sandal aku mendengar suara memanggilku

“Jasmine ....”
Seketika aku menoleh ke arah suara. Berdegup jantungku ketika kulihat Ilham dengan langkah besar menapaki mushollah menuju ke arah pintu keluar. Aku mengatur nafasku dan menjawab.
“ Iya....”, singkat
“ Mungkin hari Sabtu nanti umi dan abi saya akan datang untuk kamu”

Aku terperanajat dan tersentak kaget sambil mendongak menatap matanya. Belum pernah aku melakukan ini, menatap lekat-lekat seorang laki-laki bukan muhrim. Aku ingin mencari kesungguhan dibola matanya.
“ Untuk saya? Maksudnya...?” tanyaku sambil terus menatap bolanya.
“ Untuk memperjelas niat saya meminangmu ” jawabnya lugas.

Aku diam... dan berlalu tanpa memberikan jawaban, dengan dada gemuruh, dengan hati kebat-kebit, dengan mata berembun ingin menangis, dengan mulut bergetar karena ingin berteriak. Langkahku panjang-panjang menapaki tangga menuju lantai 2. Aku sangat takut dia mensejajari langkahku meminta jawabanku. Aku takut ada orang yang melihat gerak gerik kami. Aku takutt... tapi yang keluar dari mulutku hanyalah “Subhanallah...subhanallah....subhanallah” Laki-laki tegap itu benar-benar keras dan gigih dengan kengininannya”, gumamku dalam hati. Aku ingin menangis karena aku justru kasian kepada dia. Subhanallah....subhanallah.

******

Aku terus berpikir tentang kedatangan orang tua Ilham, bahkan kepada siapa mereka harus kupertemukan untuk meminangku, aku hampir tidak dapat memikirkannya. Mama, papa sudah tiada, seluruh saudara laki-lakiku berada diluar kota bahkan diluar negeri. Lalu aku memutuskan untuk menghadapinya sendiri karena kakak-kakak perempuanku akan menyulitkanku dalam mengambil keputusan. Akan terlalu banyak komentar yang akan aku dengar dan justru membuat aku semakin bingung. Semua berkaca dari pengalaman kehidupan sehari-hari kami setelah mama dan papa meninggal, ketidaktegasan mereka membuat aku lebih sering maju sebagai pengambil keputusan dalam setiap masalah keluarga.

Hujan baru saja berhenti saat aku mendengar pintu pagar rumahku berderit. Aku sudah menunggu sedari tadi, karena sehabis Isya ini Ilham mengatakan tentang orang tuanya yang ingin bertamu. Aku bergegas membuka pintu ruang tamu dan menuju pintu pagar. Kulihat sepasang suami isteri yang masih lumayan muda mungkin sebaya dengan kakak tertuaku yuk Ros. Aku mempersilahkan mereka masuk. Abi Ilham memiliki tubuh tinggi tegap dengan kulit hitam manis, mirip sekali dengan ilham, memakai baju teluk belango dengan setelan kain tajung sebagai bawahannya. Wajahnya bersih, berwibawa. Aku menyampaikan salamku dengan menangkupkan tangan di dada. Beliau membalas dengan gaya serupa, aku menangkap sepertinya sang Abi juga sudah terbiasa tidak bersalaman dengan wanita. Sedangkan umi Ilham yang melepaskan niqabnya setelah masuk kedalam rumah terlihat sangat manis dan mungil. Hidung mancungnya dengan kulit pipi yang putih bersih menambah seri di wajahnya, aku menyalami dan mencium tangan kemudian dia memeluk dan aku mencium pipinya kiri kanan. Ilham membuntuti mereka dari belakang. Aku mempersilahkan mereka duduk, lalu aku masuk kedalam menyiapkan teh hangat dan sedikit kue-kue.

Setelah berbasa basi dan menyentuh teh manis serta kue-kue kecil yang kusediakan, orang tua Ilham memulai mengutarakan niatnya dan tujuan kedatangannya. Diawali cerita tentang asal-usul, keluarga mereka, tentang anak-anak mereka dan akhirnya tentang Ilham. Pembicaraan tentang Ilham mereka beberkan dengan sangat rinci, mulai dari Ilham bayi, besar, dan dewasa. Bahkan kebiasaan-kebiasaan baik buruknya Ilham. Ternyata Ilham adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara dan semuanya laki-laki. 2 orang kakak-kakaknya sudah menikah. Adik Ilham adalah mahasiswa kedokteran yang saat ini sedang melaksanakan PTT di pedalaman Aceh. Aku mendengarkan dengan sangat antusias. Aku kagum pola hidup mereka yang sangat islami.

Panjang lebar abi dan umi Ilham cerita akhirnya sampailah pada sebuah pernyataan yang sangat mendebarkan hatiku. Dadaku sesak seakan ingin berhenti berdetak ketika mendengar kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh abinya Ilham yang menyatakan keinginannya untuk meminang aku. Aku menunduk dengan mata yang berembun. Sangat terharu... tapi aku mencoba menahan sedemikian rupa agar aku tidak terisak. Aku semakin gemetar setelah laki-laki arif itu mengakhiri kalimat-kalimatnya dengan melontarkan kalimat yang meminta aku menjawab. Tak henti lidah dan bibirku beristighfar dan bertasbih.

Dengan bibir bergetar aku mulai merangkai kalimat-kalimat di bibirku. Kurangkai kalimat yang sangat baik dengan tutur kata yang selembut mungkin untuk menanggapi pertanyaan abinya Ilham. Kuawali dengan bercerita tentang diriku, keluargaku. Sampai akhirnya aku harus membuka semua rahasia masa laluku, tentang pernikahanku, tentang perceraianku, tentang kasus persiteruan perebutan hak asuh anak, tentang statusku sebagai seorang narapidana hukuman 6 bulan masa percobaan karena dituding KDRT terhadap anak kandungku sendiri, tentang usiaku yang sudah setengah baya. Semua keburukan masa lalu diriku kubeberkan secara detail tanpa ada yang aku sembunyikan. Air mataku deras berjatuhan ketika aku mengakhiri ceritaku.

Aku menunduk dan terus berusaha menghentikan air mataku yang tak hendak berhenti mengalir. Kuseka air mata itu dengan tisue berlapis-lapis. Umi Ilham beranjak dan memelukku sampil menepak-nepak pundakku. Aku diam.... kuseka lagi air mata dimukaku dengan sisa lembaran tisue yang hampir robek. Setelah mampu mengendalikan emosi aku berusaha menuturkan kembali kalimat-kalimat yang telah aku rencanakan untuk kuungkapkan.

“Bapak, ibu dan Ilham... jadi seperti itulah kehidupan saya yang sebenarnya. Dan karena itu pulalah saya berusaha menghindari bahkan menjauh dari Ilham setelah tahu Ilham punya niat yang sangat baik terhadap saya. Saya sangat bersyukur dan merasa sangat tersanjung dengan niat baik bapak, ibu dan Ilham terhadap saya. Tapi saya harus mampu menakar dan menempatkan diri saya pada tempatnya”

“Ilham telah menceritakan sebagian cerita masa lalu ananda, dan dia sendiri tidak mempermasalahkan semua itu. Dia hanya melihatmu di masa kini, seorang wanita yang sungguh-sungguh mencintai-Allah lebih dari apapun. Itulah mengapa dia menginginkan ananda menjadi seorang wanita yang nantinya akan menjadi bagian dalam hidupnya juga bagi keluarga kami. Karena wanita itu dinikahi karena agamanya” ujar umi Ilham menyela.

Aku mengangkat mukaku, tersenyum manis menatap wajah umi Ilham yang duduk disebelahku.
“ Ibu ... saya menyadari bahwa pernikahan adalah ibadah, dan setiap ibadah bermuara pada cintaNYA sebagai tujuan. Sudah sepatutnya setiap upaya meraih cintaNya harus dilakukan dengan suka cita. Tanpa merampas hak-hak dari orang lain yang seharusnya mendapatkan sisi kehidupan yang lebih layak, yaitu kehidupan Ilham ke depan”

Semua mata tertuju padaku setelah aku melontarkan kalimat tersebut.
“Maksud ananda??”, tanya umi kembali.
“ Jika karena kehidupan masa lalu saya yang sedemikian itu tidak menjadi masalah bagi Ilham, saya merasa sangat tersanjung. Tetapi masalah usia adalah hal mendasar bagi saya untuk berpikir ratusan kali untuk menanggapi semua niat baik Ilham. Usia saya yang sudah setengah abad, sedangkan usia Ilham hampir separuhnya. Hal ini jelas akan menjadi masalah. Ilham masih sangat muda. Pernikahan baginya jelas akan mengharapkan untuk membina suatu keluarga dimana akan hadirnya anak-anak yang akan jadi penerus keturunan bagi Ilham termasuk untuk ibu dan bapak. Di usia setengah baya apakah masih mungkin saya dapat memenuhi harapan ini, meskipun siklus bulanan kewanitaan saya saat ini masih baik dan rutin?”

Semua terdiam setelah aku melontarkan kalimat tersebut, mungkin saja mereka tidak menyangka bahwa umurku sudah setengah abad, karena memang dari tampilan banyak orang memperkirakan usiaku baru 40-an. Aku memandang mereka bergantian. Hening dan tanpa jawaban.

“ Yah...saya sangat berterima kasih untuk rasa cinta dan niat baik ini. Tetapi lebih baik tidak pernah dimulai dari awal dari pada di kemudian hari Ilham akan menyesali semua keputusannya hari ini. Pernikahan laksana melewati lorong waktu yang jika telah diputuskan untuk dilewati kita tidak akan pernah kembali dengan pernyataan menyesal dan salah keputusan. Bila perasaan menyesal itu diambil pada saat nanti setelah semua terjadi akan banyak perasaan yang harus terlukai dan disakiti “ jawabku

“ Jujur saya menginginkan hadirnya seorang suami sebagai pendamping, teman dan pelindung dalam kehidupan saya. Saya juga menganggumi, dan menyukai Ilham karena akhlak dan agamanya. Saya amat sangat mencintai Ilham, dan karena saya mencintainya saya tak ingin merusak masa depannya. Ilham masih sangat muda yang punya kehidupan begitu baik, masa depan yang masih sangat indah, terlalu naif dan tidak adil jika dia mendampingi saya. Maafkan saya atas kelancangan ini, saya tidak menolak tetapi saya ingin mengungkapkan rasa cinta saya pada Ilham dengan cara yang berbeda....”, lancar sekali kalimat-kalimat yang telah kupersiapkan berminggu-minggu itu meluncur dari bibirku.

Semua hanya terdiam, berkali-kali abi, umi dan Ilham berusaha meyakinkan aku bahwa rezeki baik berupa harta dan anak adalah hak Allah, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah jika Dia menghendaki. Abi dan umi Ilham terus menyatakan keseriusannya meskipun segala kekurangan ku merupakan resiko yang cukup riskan. Akhirnya aku menganjurkan Ilhan istikharah kembali sampai akhirnya nanti apapun keputusannya aku baru akan mengiyakan apa yang dia inginkan padaku. Aku jujur mengakui mengagumi sosok dan karakter Ilham, sosok dan karakter seorang pria yang kuimpikan jadi pendamping hidup. Aku menghantar ke pintu pagar abi, umi dan Ilham meski raut wajah kecewa itu terbersit aku melihat kepasrahan dan keihklasan mereka tentang keinginan dan persyaratanku. Sebelum masuk ke dalam mobilnya umi memelukku sangat erat seraya menepu-nepuk pundakku. Aku terharu dengan keramahan dan keakraban umi. Ilham masih harus berpikir ulang dan memohon petunjuk Allah untuk memutuskan perkara yang tidak sulit tetapi riskan. Allah Maha Mengetahui sedang kita tidak. Allah Maha Mengetahui.

Malam telah larut, kuperhatikan bintang-bintang nampak enggan menampakkan keindahannya, hanya redup berpijar dilangit malam seusai rintik siang tadi. Angin malam berhembus dingin terasa menyejukkan. Sepertiga malam aku bergelayut manja dalam sujudku ya Allah. Karena hanya Engkaulah tempat aku menyerahkan segala urusanku. “Yaa hayyu yaa qoyyum birahmatika astagrits, aslihli sya’ni kullah walaa takilni ilanafsi thorfata a’in” Aku juga mencintai laki-laki tegap itu ya Allah, namun aku hambaMU yang lemah dan ingin bersifat adil pada dia yang mencintaiku Aku sungguh tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui tolonglah Ilham untuk dapat membuat keputusan yang tidak salah bagi dirinya, keluarganya, agamanya, masa depannya dan bagi aku juga bagi keluargaku.

“Ya Rabb, Engkaulah alasan semua kehidupan ini. Engkaulah penjelasan atas semua kehidupan ini. Perasaan itu datang dariMu. Semua perasaan itu juga akan kembali kepadaMu. Kami hanya menerima titipan. Dan semua itu ada sungguh karenaMu…Katakanlah wahai semua pencinta di dunia. Katakanlah ikrar cinta itu hanya karenaNya. Katakanlah semua kehidupan itu hanya karena Allah. Katakanlah semua getar-rasa itu hanya karena Allah. Dan semoga Allah yang Maha Mencinta, yang Menciptakan dunia dengan kasih-sayang mengajarkan kita tentang cinta sejati. Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk merasakan hakikatNya. Semoga Allah sungguh memberikan kesempatan kepada kita untuk memandang wajahNya. Wajah yang akan membuat semua cinta dunia layu bagai kecambah yang tidak pernah tumbuh. Layu bagai api yang tak pernah panas membakar. Layu bagai sebongkah es yang tidak membeku. ” ― Tere Liye, Hafalan Shalat Delisa


************




Note :
Palembang, 2 Agustus 2016
- Cerita ini adalah fiktif, namun gagasan dan alur cerita bersumber pada sosok seorang soleh yang pernah datang, pada runutan alur hidup keseharian.

- Untuk seorang laki-laki soleh yang penuh cinta (yang jauh disana), andai Allah mengizinkan kita bersatu, aku akan membuat hidupmu semakin mencintai Allah. Karena segala tindakan dan tingkah laku harus didasarkan pada ke ridhoanNYA.